Perempuan yang
Menyimpan Api
perempuan yang diam-diam menyimpan api dari percikan hutan
di musim kering itu, kini semakin memendam ingatan masa silam
kalau kau kecewa jangan lemparkan batu ke perempuan itu: ia
hanyalah bayang dari langkah dan gerakmu. perempuan selalu
menunggu kenangan untuk lalu dilukiskan di langit. biarlah
udara
yang menghapus. biarkan malam yang mengelamkan
jangan pernah ingat tentang kenangan ataupun silam; perempuan
telah mengabaikan setiap angka jam yang ingin mundur.
"pandanglah
selalu di depanmu, sebab ke situ langkah diayunkan!"
maka usah ingat masa silam, kalau tak bisa merancang masa
depan:
perempuan itu, yang diam-diam menyimpan api, akan membakar
waktumu...
13 Agustus 2012
Menyulam Airmata
selebihnya biar kunikmati
perahumu yang hampir karam
debur ombak kian nanar
desir pasir kian garam
kau menuliskan puisi terakhir
di lengan dayung
tidakkah kau tahu
aku bisa menyulam airmata jadi layar
menyusun keringat jadi perahu baru
bahkan rambutku bisa bernyanyi bersama angin
tapi aku diam
sebab kau diam
lalu tak lama: hilang
Cikarang 10 Mei 2012
Karena Aku Masih
Menyimpan Namamu
(namamu
masih mengakar karena itu kutunggu
jadi batang, tumbuh daun, dan berbuah)
biar pun malam berganti
dan hari meluncur jadi kalender
namamu tetap akan tertanam
sebagai pohon yang rindang
karena aku masih menyimpan namamu
taklah bisa kuhapus riwayat itu
betapa aku hapus kenangan
riwayat-riwayat akan menjadi
di kota
lama beraroma kopi
jalan-jalan yang mendaki
mengikatkan riwayat
: sebagai ayat
aku akan baca kelak
bila tahun-tahun
ingin melupakan
bukan sebagai marcopollo
setelah menemukan negeri
lalu ditinggalkan
untuk kembali tualang
karena aku masih menyimpan namamu
riwayat-riwayat akan terus
membaca ingatan
dan kau,
segala halaman itu...
Mei 2012
Ihwal
Benih Kini Jadi Pohon
akan kutanam benih ini…
benih yang kautitip bersama hujan dan angin
di minggu siang, lihatlah menjadi pohon
di halaman
belakang;
rindang daunnya, tegak batangnya
kutancapkan masadepanku
di akar-akar
agar nantinya melingkar bagai ular yang desisnya
sampai ke peraduanmu
jangan
catat hari minggu
berhujan itu, karena sudah mengekal dalam pohon
di halaman belakang. namun jangan ingat ihwal
benih yang dulu kautitip pada hujan dan angin
ia sudah jadi hunian:
bagiku berteduh
dari bulan-bulan yang
gerhana
atau matahari yang abuk!
Cikarang 2011-Natar Lampung Selatan 2012
Celoteh Matahari
Menjelang Pagi
Di pagi buta bulan Oktober
Matahari kecil itu
Berceloteh tentang embun
: mengecup ubun-ubun
Tahukah kau, matahari itu
Telah lama kugali bersama air mata
Hingga sungai-sungai hidup di pipiku
: aku merindukanmu
Maka tak bosan aku menimangmu
Dengan nyanyian paling merdu
Sampai habis segala syair
Segala yang liris
Dan jalan mengantarku pulang
2011
-------
Alya Salaisha-Sinta, lahir di Jombang, Jawa Timur, 26 Maret 1986. Menulis puisi dan mengikuti lomba baca puisi sejak di bangku kuliah di Politeknik Unila (kini Politeknik Negeri Lampung—Polinela). Sejumlah sajaknya dimuat di berbaai media dan antologi bersama. Alya yang baru saja mendapat momongan ini, bolak-balik Lampung-Cikarang.
Lampung Post, Minggu, 10 Februari 2013
Alya Salaisha-Sinta, lahir di Jombang, Jawa Timur, 26 Maret 1986. Menulis puisi dan mengikuti lomba baca puisi sejak di bangku kuliah di Politeknik Unila (kini Politeknik Negeri Lampung—Polinela). Sejumlah sajaknya dimuat di berbaai media dan antologi bersama. Alya yang baru saja mendapat momongan ini, bolak-balik Lampung-Cikarang.
Lampung Post, Minggu, 10 Februari 2013
No comments:
Post a Comment