Di Rumah Bersalin
Masuklah aku sebagai tamu
bergegas menyimpan tas.
Kursi-kursi putih, deretan tempat duduk
Seperti di punggung kuda besi; lusuh dan bau bacin
Antara kotoran, sampah dan sisa bilur ludah
di ruang ini, orang-orang resah, melupa arah
seperti kalimat-kalimat yang patah
ruang penuh kilat dan bayang-bayang kelebat
Aku bersidekap duduk di depan lukisan
yang tepat dibuat pada tahun 2004
bergambar sosok perempuan akan menjadi ibu
Silahkan keluar, dari ruangan sesak dan berjejal udara
kedatanganmu akan disambut suara adzan,
Aku bergumam, pada waktu di tik-tok jarum jam yang resah
Datanglah, bumi ini akan menyambutmu
Bergegaslah, putuskan urat-urat yang membelitmu
Selang detik, perempuan putih berkata
dari sudut kamar “ketuban pecah”
terdengar beriringan dengan langkah kaki
dan jarum jam
Di ruang bersalin, tamu itu terdengar mengerang
Ketika suara menjadi gema
Aku masih duduk sebagai tamu
di deretan kursi, antara lukisan, jam dinding dan luka
seperti memberi genap menangkap usia
tapi, di ruang itu aku lupa pada kotoran sampah
sisa bilur lidah dan orang-orang yang resah,
keluarlah aku sebagai tamu
bergegas membawa tas
dan mendorong kereta roda
2012
Perahu Langit
Buat Tuan Tandi Skober
Di Cipadung, kita adalah iradat
saling mencecap bahasa.
kita tangkap angin dalam dingin
Seratus matahari menggeliat
Dari pundak bukit, hari masih pagi,
Mungkin mimpi telah menepi,
Di Cipadung, aku bersikap dengan cakap
Ketika langit merendah,
tiba-tiba kuingat kau berkata
“kelak, jantung kita akan berdetak di langit ketujuh
Ketika perahu yang melintas di sujud terakhir
Membuat segalanya menjadi putih
maka sisakan aku selarik puisi; layang kalimasada.”
“Seperti ageman atau jimat
Aku adalah sisa amarah Bratayudha mematikan sedulur papat
kelima pancer. Aku ditemani seekor anjing—
Sabda Palon dan Nayagenggong— meninting ruh,
mendaki perbukitan di Gunung Tengger.
Gunung yang kerap ditabalkan tetenger, sebuah peradaban alih warna.
Entahlah aku selalu saja gagal
membaca kandungan puisi Layang Kalimasada itu.
Hingga ketika pelangi
melengkung jauh ke lipatan ombak laut pesisir utara Jawa, ada sosok
darwish berbaju gamis ajarkan makna yang terkandung dalam surah layang
kalimasada itu.”
Sebelum ruhku terhunus cahaya
Logatlah wafaq kalimasada itu
Kelak, aku tak pernah mengerti bahasa
untuk menerjemahkan dua kalimat sajak kesaksian
di Cipadung, kita akan kehilangan bahasa
padahal telah lama selembar kertas putih
akan menjadi perahu langit.
2012
--------
Pungkit Wijaya, lahir di Garut, Jawa Barat. 24 Mei 1988. Alumnus Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Ia bergiat di Forum Alternatif Sastra (FAS) Bandung. Sejumlah puisinya telah dimuat di berbagai media dan antologi bersama.
Lampung Post, Minggu, 24 Februari 2013
Masuklah aku sebagai tamu
bergegas menyimpan tas.
Kursi-kursi putih, deretan tempat duduk
Seperti di punggung kuda besi; lusuh dan bau bacin
Antara kotoran, sampah dan sisa bilur ludah
di ruang ini, orang-orang resah, melupa arah
seperti kalimat-kalimat yang patah
ruang penuh kilat dan bayang-bayang kelebat
Aku bersidekap duduk di depan lukisan
yang tepat dibuat pada tahun 2004
bergambar sosok perempuan akan menjadi ibu
Silahkan keluar, dari ruangan sesak dan berjejal udara
kedatanganmu akan disambut suara adzan,
Aku bergumam, pada waktu di tik-tok jarum jam yang resah
Datanglah, bumi ini akan menyambutmu
Bergegaslah, putuskan urat-urat yang membelitmu
Selang detik, perempuan putih berkata
dari sudut kamar “ketuban pecah”
terdengar beriringan dengan langkah kaki
dan jarum jam
Di ruang bersalin, tamu itu terdengar mengerang
Ketika suara menjadi gema
Aku masih duduk sebagai tamu
di deretan kursi, antara lukisan, jam dinding dan luka
seperti memberi genap menangkap usia
tapi, di ruang itu aku lupa pada kotoran sampah
sisa bilur lidah dan orang-orang yang resah,
keluarlah aku sebagai tamu
bergegas membawa tas
dan mendorong kereta roda
2012
Perahu Langit
Buat Tuan Tandi Skober
Di Cipadung, kita adalah iradat
saling mencecap bahasa.
kita tangkap angin dalam dingin
Seratus matahari menggeliat
Dari pundak bukit, hari masih pagi,
Mungkin mimpi telah menepi,
Di Cipadung, aku bersikap dengan cakap
Ketika langit merendah,
tiba-tiba kuingat kau berkata
“kelak, jantung kita akan berdetak di langit ketujuh
Ketika perahu yang melintas di sujud terakhir
Membuat segalanya menjadi putih
maka sisakan aku selarik puisi; layang kalimasada.”
“Seperti ageman atau jimat
Aku adalah sisa amarah Bratayudha mematikan sedulur papat
kelima pancer. Aku ditemani seekor anjing—
Sabda Palon dan Nayagenggong— meninting ruh,
mendaki perbukitan di Gunung Tengger.
Gunung yang kerap ditabalkan tetenger, sebuah peradaban alih warna.
Entahlah aku selalu saja gagal
membaca kandungan puisi Layang Kalimasada itu.
Hingga ketika pelangi
melengkung jauh ke lipatan ombak laut pesisir utara Jawa, ada sosok
darwish berbaju gamis ajarkan makna yang terkandung dalam surah layang
kalimasada itu.”
Sebelum ruhku terhunus cahaya
Logatlah wafaq kalimasada itu
Kelak, aku tak pernah mengerti bahasa
untuk menerjemahkan dua kalimat sajak kesaksian
di Cipadung, kita akan kehilangan bahasa
padahal telah lama selembar kertas putih
akan menjadi perahu langit.
2012
--------
Pungkit Wijaya, lahir di Garut, Jawa Barat. 24 Mei 1988. Alumnus Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Ia bergiat di Forum Alternatif Sastra (FAS) Bandung. Sejumlah puisinya telah dimuat di berbagai media dan antologi bersama.
Lampung Post, Minggu, 24 Februari 2013