Kepada yang Abadi pada Pohon Akasia
kepada para tunas yang baru mengenal cahaya
tersimpan rahasia kuntum akasia
yang datang dari lubuk semesta
di mana muasal cuaca berjumpa
akasia berbunga
dalam kenangan gadis-gadis remaja
ketika memekarkan kelopak
yang mereka sebut kebebasan
di dasar tanah
akar akasia berjanji pada hara
“akan kami kukuhkan sebuah puisi”
sebelum datang kemarau
yang kelak membuat mereka tertatih
kepada mineral-mineral
yang menempuh perjalanan
di dalam batang
yang selalu merasa pasti
akan sebuah tujuan
tumbuhkanlah ranting-ranting puisi
bagi burung-burung
yang ingin membangun rumah
bunga akasia akan tetap mekar
menatap matahari
dan sekali waktu menggugurkan
ribuan puisi yang tak kuasa menjadi abadi
Bandar Lampung, Desember 2014
Kepada Salju
Sepatutnya kau berbahagia
Ketika tubuhmu berangsur membeku
Juga ketika hendak mencair
Sebab di tubuhmu
waktu memberi kesepakatan sendiri
tentang sesuatu yang sementara
dari kesepakatan sebuah musim
bocah-bocah akan memuntahkan keriangan
cinta sepasang remaja akan membuatmu mendidih
kesabaran para orang tua akan membuatmu bermakna
sehampar warna putih
berayun-ayun di udara
menyapa cuaca
juga seorang perempuan tua
di balik kaca jendela
yang menunjuk sesuatu
di langit
Bandar Lampung, Desember 2014
Jawaban di Rahim Ibu
kapan kita akan kembali bertemu
tanyamu sambil dengan cemas memungut
daun-daun gugur di tepi jalan itu
akankah daun yang diterbangkan angin
sampai ke tepi telaga sebuah kota
akankah sampai pada tujuan
pada selarik alamat di segulung peta
ketika langkahmu mulai menjauh
rinduku patah tak terkayuh
langit berwarna tembaga
membiaskan cahaya di mata
para wanita yang kujumpai
sepanjang jalan pulang
ujung jalan di balik tanah
tak akan mempertemukan kita
sebab kita sendiri
menyusuri aliran air kita sendiri
menuju tanjung-tanjung harapan
mengayuh suka-duka dalam lautan waktu
kita disatukan oleh serbuk-serbuk puisi
yang sesungguhnya tak pernah ada
kita menyusun debu-debu di tubuh kita sendiri
merintih, lalu membasuhnya kembali
kita terlunta menerka-nerka jawaban
yang tertinggal di rahim ibu
Bandar Lampung, Januari 2015
--------------
Firda Wati, lahir di Liwa, Lampung Barat, 3 Juli 1995. Mahasiswa semester IV Fakultas Syariah IAIN Raden Intan.
Lampung Post, Minggu, 12 April 2015
kepada para tunas yang baru mengenal cahaya
tersimpan rahasia kuntum akasia
yang datang dari lubuk semesta
di mana muasal cuaca berjumpa
akasia berbunga
dalam kenangan gadis-gadis remaja
ketika memekarkan kelopak
yang mereka sebut kebebasan
di dasar tanah
akar akasia berjanji pada hara
“akan kami kukuhkan sebuah puisi”
sebelum datang kemarau
yang kelak membuat mereka tertatih
kepada mineral-mineral
yang menempuh perjalanan
di dalam batang
yang selalu merasa pasti
akan sebuah tujuan
tumbuhkanlah ranting-ranting puisi
bagi burung-burung
yang ingin membangun rumah
bunga akasia akan tetap mekar
menatap matahari
dan sekali waktu menggugurkan
ribuan puisi yang tak kuasa menjadi abadi
Bandar Lampung, Desember 2014
Kepada Salju
Sepatutnya kau berbahagia
Ketika tubuhmu berangsur membeku
Juga ketika hendak mencair
Sebab di tubuhmu
waktu memberi kesepakatan sendiri
tentang sesuatu yang sementara
dari kesepakatan sebuah musim
bocah-bocah akan memuntahkan keriangan
cinta sepasang remaja akan membuatmu mendidih
kesabaran para orang tua akan membuatmu bermakna
sehampar warna putih
berayun-ayun di udara
menyapa cuaca
juga seorang perempuan tua
di balik kaca jendela
yang menunjuk sesuatu
di langit
Bandar Lampung, Desember 2014
Jawaban di Rahim Ibu
kapan kita akan kembali bertemu
tanyamu sambil dengan cemas memungut
daun-daun gugur di tepi jalan itu
akankah daun yang diterbangkan angin
sampai ke tepi telaga sebuah kota
akankah sampai pada tujuan
pada selarik alamat di segulung peta
ketika langkahmu mulai menjauh
rinduku patah tak terkayuh
langit berwarna tembaga
membiaskan cahaya di mata
para wanita yang kujumpai
sepanjang jalan pulang
ujung jalan di balik tanah
tak akan mempertemukan kita
sebab kita sendiri
menyusuri aliran air kita sendiri
menuju tanjung-tanjung harapan
mengayuh suka-duka dalam lautan waktu
kita disatukan oleh serbuk-serbuk puisi
yang sesungguhnya tak pernah ada
kita menyusun debu-debu di tubuh kita sendiri
merintih, lalu membasuhnya kembali
kita terlunta menerka-nerka jawaban
yang tertinggal di rahim ibu
Bandar Lampung, Januari 2015
--------------
Firda Wati, lahir di Liwa, Lampung Barat, 3 Juli 1995. Mahasiswa semester IV Fakultas Syariah IAIN Raden Intan.
Lampung Post, Minggu, 12 April 2015