Sunday, March 29, 2015

Sajak-sajak Muhammad Harya Ramdhoni

Makam Tak Bernisan
: DN Aidit

di sini ditanam jasadnya.
lelaki gempal dari pulau bangka.
pada masanya komunisme tak lahir dari
pecahan batu dan rel kereta api.
melainkan dibuahi azam iman
tentang kehidupan tak berkasta.
di sini terbaring riwayat bang amat.
pendusta panca sila paling berani.
pada dirinya silsilah gelap
sebuah partai diakhiri.
tak seorang pun merasa berhak
menulis riwayat baru walau hanya seayat.
malangnya, dunia turut menghakiminya.
tempat terkutuk diberikan padanya
di sudut dunia paling jadah.
kisah kesatria berzirah mirah delima
bertiup sayup-sayup sampai.
dihapus kebengisan zaman
dan amarah sang angin.
tembok bisu dari abad lalu
enggan berbagi cerita.
barisan kayu jati tua pun setia
menyimpan berjuta rahasia.
milik bilik masa silam yang
tersembunyi di dalam
peti mati berhias celurit dan palu gada.
dua tiga ekor ayam mematuki bebutir jagung,
kemudian berak di atas tanah di mana
jasad sang ketua berada.

Boyolali-Yogyakarta, 26 Agustus 2014



Omong Kosong di Puncak Pesagi
: Kisanak Depri

kau duduk di depan perapian.
di samping pokok pinus yang
tegak menantang langit.
tatkala fajar menyapa
dari balik kakinya.
tanah subur di bawah sana
menenun sebuah harap.
hidupkan semula kisah
lama orang-orang desa.
lelaki perempuan sederhana
dengan mimpi bersahaja.
tiba-tiba darahmu terkesiap.
seekor elang terbang
menuju pucuk pesagi.
“kenui ngelayang
mit pesagi!” pekikmu.
itulah hikayat tua yang
melampaui selusin abad.
cerita tak usang tentang
pemenang dan pecundang.
orang-orang dari utara dan musuh mereka
yang terpaksa terusir menuju selatan.
sementara engkau dan aku di sini
masih memilin tasbih.
menanti takdir tak pasti
cucu lima lelaki berhidung
bagus dan juru masaknya.

Puncak Pesagi-Jambi, 3 & 14 Juli 2009


Deja Vu 

seorang anak perempuan
berambut sebahu.
hadir dalam benakku
bertahuntahun lalu.
kernyit kening wajah selintas
angkuh, tersaji dari
masa depan tak teraba.
ia tak bicara walau sepatah kata.
pun tak menangis atau tertawa.
hanya tatap mata tawarkan
tekateki tak terbaca.
mungkinkah masa kini ditentukan
penggal bayangbayang
hari lalu yang tersirat?

Stasiun Komuter UKM Bangi Malaysia, 9 Juli 2013


------------------
Muhammad Harya Ramdhoni, lahir di Solo, 15 Juli 1981, pengarang prosa sejarah Lampung Perempuan Penunggang Harimau (2011) dan kumcer Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air (Koekoesan, 2012). Ia berkhidmat sebagai staf pengajar Program Pascasarjana Magister Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung, Bandar Lampung.


Lampung Post, Minggu, 29 Maret 2015

Sunday, March 22, 2015

Sajak-Sajak Riki Utomi

Selatpanjang

kami berada di ujung kepalamu, selatpanjang.
tebingtinggi yang menaruh harapan, degup jantung
secepat mesin kempang ketika menyusuri arus
gelombang. ketika sampai di ujung pulau rangsang,
degup jantung pun hilang, selaksa lambaian nyiur
mengangkasa oleh cericit elang laut memekik
membahana.

kami berada di tubuhmu, selatpanjang.
mencermati tiap jengkal lembut gambut
ketika pijakan kaki oleng oleh lain pikir kita.
namun merambat ke sukma paling dalam.
di mana segala duri dalam lubuk hatimu
tak lagi sekeras masa lalu namun dapat
meramu ke penjuru maju oleh lindap asing
oleh rantauan kaki berpijak.

kami berada di matamu, selatpanjang.
lihatlah tajam tiap jengkal pulaunya. singgasana
datuk bercakak pinggang di tanah merbau.
segala amuk menyatu ke segenap rantau sampai
ke siak, bengkalis, dan tumasik. mengusik
peta batin kita bahwa di sana, selatpanjang
mengukir denyut nadi kita dalam lingkup
panjang jarum jam, dalam ruang luas perahu
yang melaju di deras air selat hitam.

Selatpanjang, 2015



Memungut Sunyi

kami hanya dapat mengeja satu dua saja.
dari lindap yang urung datang. gelap mirip
hatimu sekarang, tanpa ampun mengajakku
ke arah lain yang terlarang.

kami lalui saja dengan segala apa yang
kemuncak di hati. di ujungnya hampir tak ada.
hampir tak kena, menjurus kepada malam
yang lain.

kami hanya memungut sunyi, lewat celah
hatimu yang batu. lewat gundah yang merumit
itu, ke segenap ujung, ke segenap waktu yang
bertarung.

Selatpanjang, 2015



Dalam Lipatan Sunyi

dalam lipatan sunyi, kau menaruh hati:
dendam lama yang terkurung, usut kusut
yang terselubung. lalu menghanyutkannya
tanpa tahu ke mana.

dalam lipatan sunyi, waktu mengurung:
ke dalam relung-relung paling ngilu,
dalam dan ujung, merambat sampai
merekah jantung.

dalam lipatan sunyi, kami hanyut:
melipat diri, mencari celah hanyut.
mencuri celah waktu, melepas ungkap,
tercerabut oleh mimpi, mimpi kelam
yang lain.

Selatpanjang, 2015



Seluas Hatimu

seluas hatimu aku berhak menyimpan apa saja.
termasuk serpih retak jantungku melihat kusam
wajahmu. wajah yang menyimpan mimpi oleh
gerak batin yang tak kokoh lagi. hancur mirip
bumi dari retak lidah api.

sekelumit hatimu adalah kabar lain dari hidup ini.
aku tak dapat merangkai segala degupnya. aku tak
utuh menggapai segala denyutnya. aku tak utuh
mengeja segala ucapnya. semua meletih dari ucap
lain, dari makna yang ganjil itu.

Selatpanjang, 2015



Tentang Januari

januari memberikan dahaga.
matahari hampir di ujung kepala.

hampir melepas kulit di tangkai.

harapan gosong tanpa rindang
dan usai kokoh yang sia-sia.

Selatpanjang, 2015



Sebuah Batas

mungkin hanya seinci, batas kita hilang.
ketika kau tak lagi melihatku. satu dua
arti tak lagi mampu untuk dicermati
menjadi luapan lain yang mengganggu.

sebuah batas melepas dari dirimu.
menuju kepada objek tirus wajah tiran.
kau coba meresapi seluruh ingatan
tentang hari-hari lain sebagai ungkap diri.
ranum luput tak berjanji.

Selatpanjang, 2015


---------------
Riki Utomi, alumnus FKIP UIR Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Menulis puisi, cerpen, esai, naskah drama. Sejumlah karyanya terangkum dalam antologi Ziarah Angin, Fragmen Waktu, Munajat Sesayat Doa, Rahasia Hati, Sekeping Ubi Goreng, Dari Negeri Poci 5, dll.


Lampung Post, Minggu, 22 Maret 2015

Sunday, March 15, 2015

Sajak-Sajak Abd. Rahman M.

Dongeng

Matahari yang menyala-nyala tersungkur dibawa ombak
di laut biru nyanyian ratapan anak sampan
asa yang telanjur mengangkasa
langit ialah atap keabadian
dan tanah rumah yang selalu berdiam kemunafikan
tersimpan tawa raja menggelegak
berlayar mengikuti irama angin
yang mereka bilang menuju keabadian
anak sampan menggeliat bercerita di balik awan
lupa matahari telah tersungkur meninggalkan pedih

2015


Prolog

Aku terimpit di rumah yang atap dan bangunan
menjulang tinggi kemegahan
kayu rumah tempat aku belajar keheningan dimakan rayap
bersisa segenggam serbuk kenangan

2015


Fana

Putri belia merupa wajah elok bermekaran kembang
termenung mataku memandang selarik puisi
bernuansa asmara diramu lewat diksi pincang
rupanya elok dimanja dan dipuja bak anak raja
jangan engkau percaya pada gelap malam
yang kata kumbang-kumbang banyak terlahir hening

selarik puisi mencakar-cakar tubuhku
meminta belas kasih dipertemukan kembang mekar
ia haus hendak meminum darah keabadian

2015


Wakil Tuhan

Suara-suara tuhan diperkumpulkan diganti
wakil-wakil tuhan berwajah beringas
baju mereka beraroma rupiah mata berkilau berlian
pasal demi pasal mereka cipta dari ayat pertama
hingga ayat terakhir habis didagangkan
semenjak suara tuhan diwakili

suara-suara tuhan lenyap terkubur bersama dongeng
wakil-wakil tuhan berkumpul dalam kubangan
mencari pasal demi pasal yang terlanjur gigil
mata menyala senyum merekah
mewakili tuhan dunia

2015


Monolog

Sepatu kulit yang kupakai meludah ketika
kulitnya mengelupas dihantam kemegahan
ia benci setiap sepatu yang berjajar rapi di pinggir jalan
wajahnya berang kulit terkelupas mata liar
sepatu kulit yang kupakai menerjang tawa
hendak menerkam kebencian

kakiku melepuh tak sanggup menahan luka
yang dibenam kebencian
aku tersungkur di ujung senja diam takluk

2015


Desing

Malam kelam bertabur suara-suara sumbang
derai hujan menemani malam menghitam
pak tua duduk di pinggir kali
memandang sinis pada mata bulan
yang tiba-tiba
menghardik lamun

pak tua istrimu menanti di rumah
menanti kepulangan yang telah lama pergi
mencari-cari senyum
sedang keceriaan ada di tubuhnya

2015




------------
Abd. Rahman M, lahir di Prapat Janji, Sumatera Utara, 29 Juni 1989. Tulisannya dimuat di berbagai media massa.


Lampung Post, Minggu, 15 Maret 2015

Sunday, March 8, 2015

Sajak-sajak M. Sidik Mustofa

Luka di Tengah Cerah Matahari
ketika makin mendung waktu cerahnya hari
matahari memberikan maklumat di pagi hari, “tenggelam”
angin hanya mampu bersolek di tengah taman bunga tulip

ketika matahari selalu berinar di kegelapan di antara kaki bersandal rompak
dan air bah semakin tinggi membawa dahaga di ujung laut

kian terkoyak luka dan semakin tak terbendung langit penuh bintang di sebuah comberan; penuh dusta siang tanpa cahaya

ketika mendung kian tenggelam
adakah busur mampu membantu

Bandar Lampung, Maret 2011


Catatan Perjalanan

aku belum bisa menang dalam pertikaian hidup ini

selalu saja aku menangis kala menatap rerumputan
pun aku tergugu saat menyaksikan hujan
tertunduk menatap langit yang menantang

mungkinkah ini saatnya aku berlari?
berlari hingga aku tak mengingat lagi
Sudah saatnya aku lepas
Sudah saatnya aku membuka lembaran kertas baru
hingga banyak cerita yang tercipta

Sebenarnya sungguh ini menyakitkan
Namun, ini lah jalan yang aku pilih

Biarlah semua ini menjadi cerita buat aku sendiri
Meski semua tak pernah ketahui...

Rasanya ingin kuremas tulang belulang yang telah merebut!
Tapi bodohnya aku malah tersenyum
Apakah ini yang disebut ikhlas?
Beritahu aku kalau cara mencintaiku ini salah.

Labuhandalam, Juni 2013


Jika

bahkan,
   jika besok dunia hancur....
hari ini aku akan menanam pohon apel!!

Labuhandalam, 11 Juli 2013


Jeratan Tali

Lengan-lengannya melengkung
apabila direntangkan ke depan akibat jeratan tali dan siksaan di penjara
Di punggungnya terlihat jelas bekas luka bakar
Ia dibesarkan di kamp kerja paksa
sehingga tidak peka terhadap konsep keluarga
Ia sendiri yang melaporkan ibu dan saudara lelakinya ke sipir
begitu ia mengetahui keluarganya berencana kabur.

Bandar Lampung, Januari 2014



Ketika Aku Harus Memilih

Aku pernah berpikir bahwa setiap manusia pasti ingin memiliki kekasih
Kekasih yang akan terus bersama
sehidup semati dalam suka duka yang tak akan terpisahkan

Aku pernah berpikir
setiap manusia pastilah punya goresan masalah
dengan manusia lain
sehingga wajar jika manusia memiliki musuh

Kini aku memilih menjadi setan
sebagai musuh utamaku
sehingga aku lebih memilih melepas kebencian, dendam, rasa sakit hati,
dan permusuhan dengan manusia lain

Aku pernah selalu kagum pada manusia
yang cerdas
dan manusia yang berhasil dalam karier
atau kehidupan duniawi

Sekarang aku mengganti kekagumanku
ketika aku menyadari
bahwa manusia hebat di mata-Nya
adalah hanya manusia yang bertakwa,
sanggup taat dalam menjalani hidup dan kehidupan

Dulu aku akan marah dan merasa harga diri dijatuhkan
ketika orang lain berlaku zalim padaku
menggunjingkan aku
menyakiti aku dengan kalimat yang di sengaja untuk menyakitiku

Sekarang aku lebih memilih
untuk lebih bersyukur dan berterima kasih
ketika menyakini
bahwa akan ada transfer jika aku mampu bersabar

Dan aku memilih tidak lagi harus khawatir
karena harga diri manusia
memaknai arti dan mengerti dengan pencerahan keseharian
hanyalah akan jatuh di mata-Nya
ketika rela menggadaikan untuk mengikuti hasutan setan


Bandung, Januari 2011


-----------
M Sidik Mustofa, lahir di Baturaja, 7 November 1966. Sempat menggunakan nama Andika Sidik, ia pernah pentas bersama Teater Krakatoa yang dipimpin/sutradara Ganti Winarno dan bergabung dalam Himpunan Remaja Pencinta Seni Lampung (HRPSL). Karya-karyanya dimuat di berbagai media dan antologi bersama.


Lampung Post, Minggu, 8 Maret 2015

Sunday, March 1, 2015

Sajak-sajak Humam S Chudori

Belajar pada Ikan di Laut

Belajar pada ikan di laut,
pasti tak terpengaruh lingkungan
sebusuk apa pun pergaulan 
sebab ikan tak pernah asin
kendati hidup di air asin

Belajar pada ikan di laut
nan tak patah semangat
berjuang di alam bebas
bertahan hidup dalam ganasnya
alam bebas, hidup pasti optimistis

belajar pada ikan di laut
tangguh, tak pernah malas
berenang ke sana-kemari
mencari makan yang disediakan
Yang Maha Pemberi

belajar pada ikan di laut
tahu diri tak cari rezeki
di luar habitat
tidak ekspansi ke sungai
sebab ikan di laut memahami
meski di air tawar ada rezeki
pun di air payau ada rezeki
ikan di laut tak pernah kemari

kenapa tak belajar pada ikan di laut
padahal usia sudah di ujung maut.



Perempuan Pembunuh Sahabat
        - eFHa

Entah apa warna perasaannya
tikam teman lewat rayuan gombal
hujamkan kata-kata berdarah
kalimat-kalimat bernanah
tatapan mata berapi

di balik kerudung nan indah
senyumnya tebarkan serakah
catatan sejarah coba diubah
lewat rekayasa yang digubah

gara-gara ulah itu perempuan
warna-warni aroma kematian
dijajakan. lewat puisi
pembunuhan massal terjadi
nurani kawanku nyaris mati 

       12 Feberuaruari 2012 / 2015



Berguru pada Sufi

Hidup itu indah
jika sering diguyur gelisah

hidup itu bahagia
jika pernah diterpa derita

hidup itu nikmat
jika tanpa perbuatan maksiat

belajarlah pada yang kenyang
dengan kelaparan
bergurulah pada kaum sufi
yang sudah mati
tapi masih berjalan di atas bumi
agar hidup lebih berarti.

   

Setelah Kita Berpisah
-bagi SK

Rindu aku ingin menyuapimu
seperti ibu menyusui anak
tapi waktu telah memisahkan kita
kau di sana, entah di mana
sedang aku masih di sini
menunggu wangi, aroma surgawi
dari yang sangat kucintai

kenapa Tuhan tak ajarkan lebih awal   
makna cinta hakiki nan kekal
bukan sekadar cinta monyet
bukan pula cinta insani
yang dibalut nafsu hewani
sekadar pemuas ego pribadi

hidup dalam kungkungan rindu
dendam kepada sang kekasih
terima amanah tanpa disuka
adalah hal yang menyakitkan jiwa
tapi harus dijalani dengan penuh rela

setelah kita berpisah
baru kupaham makna cinta sejati
baru kungerti arti rindu hakiki
baru kusadari takdir yang tak kita miliki
ibarat air yang mengalir
atau merembes ke dalam bumi


--------------
Humam S Chudori, lahir 12 Desember 1958 di Pekalongan. Tahun 1982 melanjutkan ke Sekolah Tinggi Publisistik (sekarang Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik) Jakarta. Mengambil jurusan Jurnalistik. Ia menulis puisi, cerpen, dan novel. Buku puisinya: Perjalanan Seribu Air Mata.


Lampung Post, Minggu, 1 Maret 2015