Sunday, February 22, 2015

Sajak-sajak Doddi Ahmad Fauji

Puisi tentang Menulis Puisi
Kepada Litaniar Qonakis Iskandar

Aku sangat percaya puisi
dan menulisnya
serupa jembatan menghubungkan
kita dalam cinta yang meledak-ledak
sejak itu, sejak aku tertambat
bibir-mu selalu merangsang imanku
aku ingin cucus
aku akan cucus tak henti-hentinya
aku pasti cucus hanya dengan-mu

Puisi telah menuntun-mu
pulang hanya ke arahku
puisi usai kutulis, kau membacanya
sebagai doa sebelum beranjak tidur
membuat Amerika yang bar-bar
jatuh dan bertaubat

Ketika pemuka agama meninggalkan puisi
bahkan menolak puisi dalam berdoa
aku bersetia dan berterima kasih
kepada puisi yang telah meyakinkan-mu
akan bersamaku
hanya bersamaku
bercinta
dan beranak-pinak

Bandung, 2015

• Cucus adalah bercinta penuh gairah dengan direstui Tuhan dalam pelaminan


Kado Ulang Tahun
Kepada Litaniar Qonakis Iskandar

Selamat ulang tahun My Dear
kau akan selalu jadi sesuatu
belum ada kata untuk menandainya
kuciptakan diksi baru
kelak dientrikan dalam kamus resmi
kau adalah Litaliarisme-ku

Kau tiba-tiba muncul
ketika aku kehilangan banyak
dinyatakan gila oleh seluruh dokter
pengikut-pengikutku berhianat
karena tercerabut dari akar
senyap ruang batinku

Musuh-musuhku memasang ranjau
pada setiap jalan yang kutempuh
menuju ke arah-mu
tapi aku tak gentar

Kehadiran-mu sangat sesuatu sekali
kemarau 3,8 abad yang menjelangku
mendidih oleh sedetik keseluruhan-mu
dan aku sangat yakin telah mencintai-mu
percintaan kita niscaya dilestarikan
di museum peradaban dunia
peleburan kita akan bangkit dan jaya
seperti FC Barcelona
yang meraih enam piala
dalam semusim kompetisi

Terima kasih Cinta
kuucapkan sebelum kado dirgahayu-mu
sebelum aku meledak bersama ranjau
biar tak seorang pun
merasa wajib menziarahi jejakku

Bandung, 2015

• Litaliarisme adalah paham filsafat baru tentang keliaran imajinasi yang menjadi ibu dari segala kreativitas. Diksi tersebut kuciptakan untuk menggambarkan Litaniar yang liar dalam visi dan imajinasi, sehingga kehendak penulisan puisi inimemenuhi kaidah perdiksian.



Puisi tentang Puisi Jatuh Cinta

Kepada Litaniar Qonakis Iskandar

Dan aku suka kau menyelaku
pikiran-mu lebih bijaksana dari Pancasila
tapi lebih bengal dari anak-anak liar
yang bangga dengan ketidakmandiannya

Aku berlatih bijak sekaligus liar
maka kuabadikan sungai Tigris
yang mengantarkan kejayaan Babylonia
kulestarikan laut merah
yang menenggelamkan Firaun
kupersembahkan hanya untuk-mu
melalui ciuman mautku

Langit runtuh dan laut terbakar
oleh ciumanku, dan musuh-musuhku
akan mampus bersama laut yang hangus
terkubur dalam reruntuhan langit
tentu sangat lucu dan betapa bodoh
bila dalam puisiku saja aku terkalahkan
dalam puisiku, akulah raja terkuat
dan kau permaisuri-nya

Bandung, 2015


------------------------
Doddi Ahmad Fauji, sastrawan angkatan 2000 versi pengamat sastra Korrie Layun Rampan. Kini bergiat di Sekolah Kewajaran Bersikap, Bandung, sebagai panembahan.



Lampung Post, Minggu, 22 Februari 2015





Sunday, February 15, 2015

Sajak-sajak Sihar Ramses Simatupang

Mimpi Eden

kau tahu mimpi itu, eden. tempat orang-orang melabuhkan kerja dan perih dari seluruh pengembaraan di dunia bawah sana. tak beda rahasia yang tersimpan ketika laut dan hampar daratan masuk ke dalam buntalan pak janggut. betapa selembar kain menutup biografi orang dan deret nama, kenang atau perbuatan - selesai seirama doa para pelayat.

kau tahu mimpi itu, eden. sarang sakit dari cita-cita yang tak tergapai, yang tak selalu diwakili jerit, bahkan lenguh pendek sekalipun. layar mimpi yang sobek, dayung yang patah, samudera cuma masa silam pada tatahan marmer nisan. batu adalah pena yang tertatah matahari-setiap hari. kerasnya mengiris udara; memang memuai tapi mewariskan luka.

kau tahu peristirahatan itu, eden. seharusnya kau bangga menampung semua yang sia-sia menjadi ada dan beranak-pinak disana. di antara buah dan aib kenangan; atau dosa keturunan yang lindap di taman-tamanmu-bersama lidah iblis dan cawat merah. kita tak hendak pergi, tapi semua sia-sia, sebagaimana kesombongan tanah lempung
hancur dalam cetakan Tuhan.

kau tahu kenangan itu, eden. benang adam dan hawa yang putus kerap tercipta lagi dari bulu dan jemari malaikat. orang di dunia bawah bahkan tak memiliki nostalgia sedikit pun di keriput otak dan mata rabunnya. tapi demikianlah, mereka memelihara gelisah di antara ketuk gerimis pada tubuh yang gemetar dan basah. mereka pelupa tapi mereka tahu di mana pintu dan jalan itu.

: semua menuju-Nya.



Waris Almanak

menyimpan hak waris almanak itu, tanggal-tanggal telah dilepaskan ketika kayuh kita sampai ke hari lepas yang masih berkeliaran. ada mantera, wasiat, dan air mata yang seakan merasuk ke pundi aladin, sehasta beban yang pernah diletakkan di pundak, jomplang dalam arus hari yang berpusar;

di bawah matahari yang memancari bunga-bunga, muncratlah benang sari mengejar putik di dalam gelap kemudian. ya, kita memelihara bebijian hanya untuk menjadi tunas di padang kenangan. tunas berdaun muda;

di padang itu, lalu oasis pun dipetakan, menjadi tempat air mata tergelincir lalu kita menggenanginya sebagai kolam-kolam kerinduan;

itulah ingatan, ketika tanggal menyisakan jejak di atas tanah -mungkin basah atau mungkin berdebu-setapak jalan liar menuju padang penghabisan;

berharaplah malaikat kelak mempertemukannya setelah rangkai perpisahan yang entah. dalam jawaban tak ada pangkalnya: ya, siapa tahu kelak masa itu bertemu jua di sana.




Peri Tutup Buku

demikian telah ditutup buku itu; maka gambar pun lenyap serupa kertas gosong di jilatan api-hanya hangat yang bersisa. ke mana kelak istirah dilabuhkan, katanya, bila akhirnya tak jadi tegukan teh di atas meja itu, bahkan pembakaran adonan belum sampai ke mulut. tidur pun tak jadi.
syahdan, pernah ada kisah-kisah dituahkan. tentang peri tidur yang merangkak dari dipan di antara senja. lalu terbang serupa camar; melupakan buku-buku. sebab peri lebih cinta laut dan petualangan. ketimbang rumah dan perpustakaan-apalagi buku gambar.




Ajari Aku

ajari aku menjadi batu. sebab kutahu beringin dan cemara
tumbang dilapuki musim dan waktu. dalam diam, bongkah

mengalahkan getir dan sangsai.
walau dingin, walau tumpat, walau padat. tapi kekal.

hanya kalah,
oleh putih yang metah
: bila saatnya...



Kalau Dunia

kalau dunia melupakan jejak pena di lontar dan kertas. melainkan hanya mencatat huruf dan angka di tugu sebagai sejarah. maka, serahkanlah pada tanah dan hujan dan matahari, yang bersiap membusukkan dan mengeringkan. demikian kedua peristiwa terjadi, hingga masa lalu menjelma fosil. dan sejarah menyembul bukan di tanah ini, tapi di lapis ke berapa, ratusan tahun, ketika engkau dan anak dan cucu mereka sudah tiada...

demikianlah kita tak pernah takut pada sejarah, sebagaimana pohon yang dalam kekeringan batang pun kelak berbunga. lalu beringin menghasilkan tunas ketika bijinya berada dalam tembolok burung yang mengarungi samudera di dua benua. demikian sajak, menggarisbawahi jejak besar hidupmu, menyeretnya dengan seribu makna melalui keakraban satu-dua kata.



--------------
Sihar Ramses Simatupang, kelahiran Jakarta, 1 Oktober 1974. Pernah kuliah di Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Sam Ratulangi, Manado (1992-1993) dan menamatkan studi sebagai Sarjana Sastra di Fakultas Sastra Universitas Airlangga, Surabaya. Bergabung di Komunitas Gapus dan Teater Puska di Surabaya juga ikut mendirikan komunitas Rumpun Jerami dan pernah aktif dalam diskusi rutin Meja Budaya di Pusat Dokumentasi HB Jassin, Jakarta. Buku puisinya: Metafora Para Pendosa (2004), Manifesto (2009), dan Semadi Akar Angin (2014).


Lampung Post, Minggu, 15 Februari 2015

Sunday, February 8, 2015

Sajak-sajak Dahta Gautama

Aku Tersesat di Perut Jane

Kureguk dengan ketegangan yang gawat
cangkir terakhir capucino, pemberian Jane
pelayan cantik bermuka merah jambu itu.
“anda minta saya membuatnya kembali,” tanya Jane.
“tak usah, engkau duduk di sini saja. di bangku ini. saya dingin,” sambil kurengkuh bahunya.
Begitulah, pada malam yang jahat
aku memasuki perempuan pemilik bokong padat itu
di kafe yang sebenarnya tak aku inginkan kehadirannya.
Aku tak pernah yakin
apakah perempuan pasti mati dalam pelukan
lelaki layu. atau ia sudah dusta pada kelangsungan
kejujuran lain. namun malam ini, aku benar-benar tersesat
dalam prilaku busuk.
Cuaca di luar buruk, malam tak bisa selamat
karena jarum jam telah berhenti diangka lemah.
namun aku tak punya alasan yang runut
untuk membiarkan perempuan itu pergi dari perutku.
“kita selesaikan saja. anda sangat gelisah, saya tak nyaman,” pinta Jane.
“baiklah, kita hentikan. malam pun sudah terlalu busuk.
saya ingin tamat. saya tak ingin memelukmu selama hayat.
pergilah.”
Bintang telah redup, lampu-lampu lemah sinarnya.
aku pulang ke rumah, melalui jalan gelap dan lembap.



Kopi Terakhir Penyair

Aku sangat hirau jika engkau sakit
dan mati. Meski aku paham, bahwa lelaki
adalah manusia, yang juga memiliki
sifat alamiah, seperti hewan juga.
Maka, pada malam yang tajam ini
aku memintamu untuk berhenti menulis
puisi tentang sayap kupu-kupu. Bukankah engkau
tahu, begitu sering, penyair menulis kupu-kupu?
Apa hebatnya, kupu-kupu, ia cuma bisa terbang
pendek dan hinggap di tempat yang rendah.
Sudah, habiskan saja kopi itu
barangkali menjadi minuman terakhir
sebelum engkau pulang ke rumahmu
sebelum engkau menemui kondisi lain
dari cuaca yang sering buruk itu.


Persengkongkolan Anjing


Anjing-anjing berburu tuhan di rumahmu, di tempat yang paling basah dalam keluargamu. Istri selalu mengira, bahwa engkau pulang membungkus nabi dalam tas ranselmu. Ia tak pernah memahami, gerakan anjing bisa melukai rumah tangga.
Demikianlah, anjing mencarinya, dan menemui tuhan di rumah itu. Sementara engkau, menjadi lelaki yang selalu marah. dan tuhan, tak pernah memberi mukjizat pada laki-laki jahat, maka engkau hanya dapat menjumpai perempuan kering di atas ranjang berderik. Nabi yang dipuja istri, tak pernah engkau bawa pulang. padahal engkau sudah terlalu payah untuk bernapas.


Rumah Anjing

Rumah bercat abu-abu itu pernah dihuni oleh orang-orang yang ingin pulang. Saban sore, mereka ngobrol tentang lengking anjing yang berasal dari ladang yang berada di sebelah kanan dapur. Kata ayah, gonggong anjing itu sangat buruk, lengkingnya tidak memanjang dan mengerecut. Berhenti di tengah, serupa kakek ketika batuk.
“Sangat mengganggu, seperti bunyi deham lelaki TBC,” ujar ibu.
“Kalau begitu, kita sembelih saja. Dagingnya kita bagi tetangga,” kata ayah.
“Bagaimana kalau rumah ini kita jual,” saran ibu.
“Jadi, kita tak perlu membunuh anjing,” lanjut ibu.
“Begini saja, anjing itu tetap kita bunuh. Kepalanya akan saya pukul pakai linggis, supaya tak berisik,” kata ayah.
Maka pada sore yang jahat, anjing berbulu coklat yang buruk rupa itu, mereka bunuh. dan bangkainya, di tanam di tengah rumah. Setelah itu, mereka menjual rumah itu kepada pendeta.


Tuhan Yang Sama

kepada Saprudin M Suhaemi

dia sudah jauh memperkenalkan aku kepada sunyi.
selalu sunyi yang ia tawarkan. padahal aku
tak sudi menerima sunyi sebagai keadaan lain dalam hidup.
aku bersama dia memilih Tuhan yang sama, sebab itu
kami sepakat untuk tidak pernah lupa cara berdoa.
begitulah, kami ucap doa yang sama, namun
memiliki sunyi yang berbeda.


-----------
Dahta Gautama. Lahir di Hajimena, Lampung Selatan, 24 Oktober 1974. Menekuni sastra secara serius sejak tahun 1993. Buku puisi: Ular Kuning (2011) dan Manusia Lain (2013).


Lampung Post, Minggu, 8 Februari 2015

Sunday, February 1, 2015

Sajak-sajak Rizkia Hasmin

Jalan Berkelok di Palupuah

Pohon-pohon tegak rimbun di sisi jalan sudah tinggal jauh
sebentar lagi jalan akan berkelok melewati cadas tebing tinggi-tinggi
cermin besar di kelok jalan itu masih tetap sama
:memantulkan bayang-bayang pohon di sisi jalan yang berliku

Di tepi jalan, kedai-kedai kopi berjejer
menebar harum kayu manis ke pangkal hidung
singgahlah, sekedar menjaga cerlang di matamu yang kantuk
menyeruputnya dalam bisu paling lama
menyelinapkan mata ke sebuah rumah bagonjong
anak gadis yang menatapmu itu memiliki rona  pipi merah jambu

Di balik kelokan pohon cemara
ada jalan melewati tikungan paling tajam
tubuhmu berguncang berayun-ayun
dalam hati kau berkata, aku selalu mabuk melewati
kelok jalan di palupuah

(2014)




Menggambar Hujan

Di luar, udara sedingin tubuh bambu
aku menggambar hujan dari balik kaca jendela
embun mengalun, luruh lembut ke ujung-ujung daun
membeku, berkilauan dipandang mata.
oh semesta.

Di luar, udara harum bunga jambu
aku menggambar rona semerah saga dari balik kaca jendela
di wajahmu Sumur mengalir mencapai jantung
melaju kencang menggapai ngilu batang punggung

Di luar udara sejuk teduh mata perdu
aku menggambar tatapmu dari balik kaca jendela
sepasang mata yang diam-diam menikamku
dengan jarum-jarum yang menukik dari atas langit

Aku menggambarnya dari balik kaca jendela

(Padang, Juni 2014)



Menunggu Durian Jatuh

Di dangau, kami menunggu durian jatuh
Hanya yang lepas di tampuk.
Sebab jika diperam, harganya tak seberapa.

sejak kanak-kanak, orang tua kami selalu mengatakan:
Tunggulah buah itu lepas di tampuk.
Perhatikan daun-daun yang luruh menunggam tanah.
lihat warna dan raginya.

Jika merah tua, bersiaplah turun dari dangau,
sebab sebentar lagi, buah bakal jatuh menampuk
Daun yang luruh menunggam merupakan petanda pesan:
Sesuatu bakal jatuh menggema menghantam bumi

Lekaslah berlari sebelum ada yang mendahului. 

(Padang, Juni 2014)


Orang-Orang Gunung

kami lahir dari kuntum bunga nyala
di pendapa, kami dibuahi lewat doa pada riuh air gedabak
tinggal di sebuah negeri tempat limbubu saling bertemu

kami lah orang-orang gunung
pada pendar bulan kami duduk bersimpuh
bicara tentang bedil; ujungnya runcing seperti ujung gading
panjangnya setengah depa orang dewasa.
jika bidik tepat ke mangsa 
pastilah tembus  ke pangkal dada

kami lesap di antara lembah yang limbung
naik-turun batu. berbagai nama berbagai rupa
penat betis hingga pangkal paha
berjingkat di bibir tebing
kalau terjengkang tinggal lah nama

di sini tempat kami bernyawa
di dasar lembah tempat situkah bermuara
mari tembangkan doa seiring dian menyala
dua tiga pelatuk ditarik seirama.

sambil menyelam kau cari jua dengan gigil
yang membikin gigimu saling beradu.
sedang si buyung malah asik mengepul nipah
sambil komat-kamit membaca mantra.

di sana, di pucuk gunung
di sebalik lembah: pekerjaan sedang dirampungkan

di dapur, emak sendirian menanak nasi,
upik tengah asik dengan parutan kelapa.
bungsu di kebun belakang memetik semanggi,
gardamunggu dan ruku-ruku.

bapak masih saja bergelung sedari pagi.

(Padang, April 2014)


Burung Pemikat

di tajuk pohon berdaun lebat
ia mengulur tali penjulang ranting
getah tarap getah cempedak
dibuhul ke cabang-cabang kering

aku burung pemikat dari pucuk bukit pematang kabut
dibawa anak orang simpanglangsat
jika kau tawar tak harap dapat

sisi dagu biru memukau
badan tegap mahir berkicau
ekor sayap hijau benderang
sekali kepak sampai ke sarang
leher pipi hitam mengkilat 
tersebutlah ia burung pemikat

aku burung pemikat dari pucuk bukit pematang kabut
menetaskan berpuluh telur dalam sekali eram 
merampungkan buruan dalam sekali jerat
sekali pikat

di tajuk pohon berdaun lebat
di lereng bukit pematang kabut
ia anak orang simpanglangsat
mengintai buru berharap temu:

si paruh lurus berpangkal tebal
leher panjang padat berisi
pemakan kelabang dan ulat bambu

di lereng bukit pematang kabut
ia sedang mengukur jarak
tanpa jejak tak ada derak
tak hendak tekukur merbuk atau jambur
tak ingin sisik pecah tak harap tuah
yang aku tuju hanya satu
sekali kepak datang padaku

(Pasa ambacang, Mei 2014)


----------------
Rizkia Hasmin, mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas, Padang.


Lampung Post, Minggu, 1 Februari 2015