Sunday, September 28, 2014

Sajak-sajak Kiki Sulistyo

Mata Gunting

sepasang kembaran di hadapan lembar surat lelang
tajam dan menyakitkan bagai lontaran batu rajam
apabila dikedipkan keduanya, artinya perang sudah diumumkan
tangan yang gemetar oleh amarah dan darah yang mekar
seperti kubis mawar

orang di rumah menunggu bunyi renyah dari lembar yang terbelah
meski sangsi apakah bersiap mengungsi atau memilih mati
di atas surat, tanggal telah tercatat, juga tanda tangan yang pucat
bagai kain pengikat mayat
maka tak ada yang bisa ingkar dari jalan melingkar ini
jurang membentang di hadapan, sedang di belakang sekumpulan anjing hutan
mengancam dengan gigi dan cakar berkilauan
   
kulihat tangan paman mengusap sepasang kembaran itu,
mereka saling menatap, seakan sama-sama sepakat
pada kedipan pertama tak ada yang boleh meratap
sebab setelah ini ketetapan akan lengkap; sebuah keluarga
harus keluar dari surga, menuju dunia di luar sana

(2013)


Parang Paman

bagian ini dimulai dari surat orang pandai
surat yang sarat oleh andai dan umpama
lalu paman, dengan lengan yang terbiasa
memikul cangkul, menggaru tanah baru,
datang bagai banteng di depan benteng

paman meminta tanah dengan parang
paman menawarkan perang sebagai penukar
sudah lama aku menderita, katanya
dan takkan kubiarkan siar dusta ini mengambil
seinci pun dari apa yang aku punya

waktu itu sore seperti sore kapan saja
kampung hampir rampung dari kerja
dan orang bersiap menatap gelap
seorang keliang tiba
berusaha menimbang muasal tanah
tepat saat paman mengacungkan parang
dan bagian ini berakhir dalam rumah

saat kami mendengar hantu-hantu ladang
bersiul di kejauhan

(2013)                                                                                        


Rencana Membunuh Paman

kadang kami membenci paman. kami percaya paman sejenis jahanam
dan tempat yang pantas untuknya adalah dalam nampan panas
paman gemar mengasah parang dan samar di matanya kilatan mata parang
bagai taring ular yang berbaring di kerimbunan belukar

kami ingin paman dipatuk ular saat sedang duduk di ladang
tapi sekarang jarang ada ular melingkar, ular takut pada bubuk putih
yang diserpih menjelang tumbuhnya biji-biji kacang
jadi kami tak bisa membayangkan apa yang kami bayangkan bakal terjadi

lalu kami berembuk bagaimana jika bubuk putih itu kami seduh
membiarkannya larut sebelum melepuh di perut paman
mulutnya  berbusa, ototnya melorot dengan tulang-tulang rontok

kami bersorak, riang bagai katak di musim penghujan
merasa telah mengusir bagian paling menyedihkan dari sebuah kisah
tapi itu terjadi hanya dalam bayangan kami. sampai kelak paman mati
diam-diam kami memendam sesal, kenapa bukan kami yang memberinya ajal

(2013)


---------
Kiki Sulistyo, bekerja di Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat. Buku puisinya: Hikayat Lintah (2014).


Lampung Post, Minggu, 28 September 2014

Sunday, September 21, 2014

Sajak-sajak Edi Purwanto

Menafsir Mimpi

entah kapan semua ini akan berakhir
selalu saja engkau hadir
membawa bunga yang kau petik semalam
kau persembahkan kepadaku

lalu kau pinta aku menafsir bunga itu

aku tak habis pikir
mengapa bunga yang menjadi teman tidurmu
kau curigai begitu rupa
serupa musuh dalam selimutmu

2014


Perempuan Pemetik Gitar

perempuan pemetik gitar
jemarinya yang renta terus berjalan
di atas dawai-dawai
melompat kiri-kanan

dari mulutnya yang hitam
lahirkan seuntai tembang kenangan
kampung halaman

dadanya bergetar
seolah hendak berkabar
tentang kampung halaman
yang kini terkapar

2014



Sepapa Kanan

air mata itu tak pernah lelah
hujam hitam bebatuan
dalam selimut hijau Bukit Barisan

air mata penuh gairah
mengundang kekasih untuk tetirah
sekadar meninabobokan amarah
yang mungkin telah berpinak dalam darah

2014




Way Kambas

lantaran orang-orang begitu gairah
membunuhmu
maka kami bangun rumah ini

meski tak seluas rumah asalmu
kiranya cukuplah sekadar
menjadi tempat teruskan sisa usiamu
bila perlu
berpinaklah engkau di sini
agar cerita tentang kepandaianmu bermain bola itu
tak lenyap dari bumi ini
dan kelak akan kuajak anak cucuku
sambangimu di sini

2014



Istana Penyu

mestinya di sini
di pantai sunyi beralas pasir renik
adalah istana paling nyaman
tempatmu berpinak

tapi siapa dapat menolak takdir
lantaran orang-orang
berlomba merusak istana itu
dan menjarah butir-butir
penerus silsilah
juga tangan-tangan setan
yang memutilasi tubuhmu
dijadikan hidangan kelas tinggi

2014



Lelaki Pembiola

Tubuh kurus itu ditikam matahari. Berdiri di gerbang sebuah mal
kota ini. Tangannya yang mulai rapuh dengan setia gesekkan stik
pada benda antik itu. Hingga lahir himne: mereka yang telah rela
mati untuk negeri ini.

Sementara orang lalu lalang. Matahari masih terus menikam dengan
angkuhnya. Tiada lelah ia berdiri. Hingga lahir kembali instrumentalia
kesenduan. Tentang seorang anak yang menitipkan rindu buat ayahnya.



----------------
Edi Purwanto, lahir di Sindangsari, Natar, Lampung Selatan, 7 Juli 1971. Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah FKIP Universitas Lampung. Saat ini mengabdi di SMAN 2 Negerikaton, Pesawaran. Beberapa puisinya dimuat dalam antologi bersama Pukau Kampung Semaka (2010) dan Hilang Silsilah (2013).       


Lampung Post, Minggu, 21 September 2014

Sunday, September 14, 2014

Sajak-sajak Ari Pahala Hutabarat

Dalam Mimpi

Dalam mimpi, apa pun bisa terjadi
Nuh tidak karam di atas bukit
dan Ismail berlari dari puncak Moria

karena itu jika tadi malam
aku tak sempat membasuh kakimu
dan membisikkan hasut musim
ke telingamu, yang pernah mendengar
Suara Pertama itu, maka maafkan aku

dalam mimpi, apa pun bisa terjadi
kita tak jadi diusir dari Taman itu
dan Bapa, serta seluruh bala tentara-Nya
tak jadi menghardik kita

kemudian kita jadi kekal
api berahi dalam sulbimu
menelusup ke segenap rumput—
peraduan bagi hasratmu dan fitnahku.

(2014)



Kotamu

Kotamu adalah bulan Agustus yang menggigil
diterpa hujan dan aku adalah asmara yang selalu gagal
membasuh mulutnya sendiri—bahkan dengan sebulir air

kotamu adalah bulan Agustus yang meringkuk
di pojok kamar dan aku adalah asmara yang selalu gagal
mendayung perahu di hijau laut hatimu

kotamu adalah bulan Agustus yang bersin-bersin
di bangku taman itu dan aku adalah asmara yang selalu gagal
mencatat akhir amis kalimatmu

kotamu adalah bulan Agustus yang tersesat
di rimba rinduku dan aku adalah asmara yang selalu gagal
membuat peta bagi firman yang yang yatim-piatu

kotamu adalah bulan Agustus yang fana
dan aku adalah asmara yang selalu gagal
mengucap cinta di sekujur tubuhnya

(2014)


Fitnah Kekasih

Katamu—namaku adalah lambat langkah jam
yang mengetuk-ngetuk gerbang kota
saat Sang Kekasih datang
dan mengalirkan air surga
dari ujung jari-jarinya

namun lambat langkah jam ini pula
yang membungkuk dan mencium lumpur
dari sisa sepatunya. Lambat langkah jam ini
yang membersihkan tempat tidurnya
dari kerumunan fitnah dan mata dan bibir
yang tak yakin bahwa sepasang ular derik
telah pula tiba di balai kota

katamu aliran air surga itu takkan mampu
menghilangkan dahagaku. Sebab fitnah
telah melapisinya
dengan semacam kulit licin
milik seorang nabi yang berkhianat

namun memang tak kuhirup air
dan harum surga itu. karena Sang Kekasih
telah membenamkan tubuhku
ke dalam tubuhnya
saat langkah jam termangu
di bibir purnama.

(2014)


Tangan Hasrat

Kuhasratkan tanganmu, yang adalah tangan hujan
yang sejak kecil kulihat memungut daun-daun alpukat
di halaman depan

kuhasratkan tanganmu, yang adalah tangan hujan
yang ketika remaja kulihat membakar daun-daun alpukat
di halaman belakang

kuhasratkan tanganmu, yang adalah tangan hujan
yang ketika dewasa kulihat memotong daun-daun alpukat
dari tangkai malam

kuhasratkan tanganmu, yang adalah tangan hujan
yang ketika tua kulihat mencari daun-daun alpukat
di dalam kenangan

(2014)



-------------
Ari Pahala Hutabarat, menulis puisi, esai, dan menyutradarai teater. Saat ini masih kuliah di Program Pascasarjana Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Unila, sambil jadi Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Lampung (DKL) dan jadi konsultan batu akik di Komunitas Berkat Yakin (Kober) Lampung.


Lampung Post, Minggu, 14 September 2014

Sunday, September 7, 2014

Sajak-sajak Mohamad Baihaqi Alkawy

Ladang yang Hilang

pandang ladang tepi kandang halaman belakang rumah tetangga
hanya bayang tomat tergantung dengan ranting melengkung
pada tanah yang tesenyum subur.

hari ini sudah ribut, kendaraan lalu lalang menggetarkan kenangan
para pejalan subuh yang tak sabar ingin melihat tanaman
kadang kami saling sapa atau sekedar bertanya ingin ke mana

tapi ladang sudah megah, udara begitu kotor, orang-orang bertanya
tentang saudaranya yang tiba-tiba amnesia.
dengan suara yang berbeda, tak saling mengenal dan tak dikenal

ladang pergi tak jelas siapa yang memiliki
orang-orang lalu lalang ingin menuju masa depan;
yang entah kelam atau cemerlang

sementara aku masih tergetar oleh ingatan
perihal batang padi yang merunduk sunyi

2014


Lembap Bacaan

aku buka buku lembap
lembar-lembarnya menyimpan aksara hujan
sementara paragraf awal melayang bimbang

kalimatnya tercium seperti aroma udara
pada desa yang telah aku lupakan namanya;
sebuah pemukiman yang dipenuhi pecah gerabah
di tanah lapang-selapang dada yang sabar

ingatan yang tumbuh seperti kuku
memanjang dan semakin tajam
setelah sebuah bacaan melabuhkan tubuh;
sedingin lembar buku berkutu, semanis kuku berpacar ungu.

2014


Peristiwa Pagi


sebuah mimpi teringat di penghujung mandi
tentang seorang tukang kayu yang ingin menyelesaikan
sebuah meja makan di siang hari yang lapar

ia menyalak kencang, menggigil ke arah kekalahan
sementara anak-anaknya hanya bekerja membersihkan jendela kamar
mereka hafal dari mana angin datang dan ke mana dingin pulang
apakah ke kampung asal atau ke rumah pelarian

mimpi itu ramah semisal tuan rumah
mempersilakan tamunya duduk di tempat terbuka
seperti halaman rumah sebuah desa

ada tetangga lewat dengan segan
mengucapkan sebait kalimat gemetar
bersama gelagat tubuh yang malu-malu berlalu

seperti sisa mimpi yang teringat di penghujung mandi
dan kebimbangan pada handuk bergambar penginang

2014


Puisi di Atas Meja Kerja


semut, tikus, kecoa, cicak, nyamuk, lalat
dalam kamar yang sesak oleh bait-bait
kemuraman seorang di atas meja kerja
di sana, setiap benda adalah penyesalan
dan ingatan yang mudah terlupakan

tikuslah yang mengisyaratkan bahwa waktu telah malam
sementara nyamuk berkeliaran tenang
cicak semisal air terjun menyegarkan pandangan
saat dingin huruf dalam buku membekukan tubuhku

kecoa meloncat setelah melihat gelap menyusup lembut
pandangannya mengarah ke sebuah lemari
isinya berjejal kalimat yang menjelaskan puisi

sementara lalat mengabarkan sejauh waktu
tubuh ini belum dibasahi air
ia tak tahu puisi telah mengalirkan air matanya ke lekuk tubuh
seorang pria dengan dada yang berdansa di atas meja kerja

2014


--------------------------
Mohamad Baihaqi Alkawy, lahir di Toro Penujak, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, 9 Mei 1991. Masih studi di Fakultas Tarbiah IAIN Mataram. Bergiat di Komunitas Nafas dan berproses di Komunitas Akarpohon, Mataram. Bukunya berjudul Tuan Guru Menulis, Masyarakat Membaca (2014).


Lampung Post, Minggu, 7 September 2014