Sunday, June 29, 2014

Sajak-sajak Sartika Sari

Maut

untuk bertemu, aku mesti menunggu begitu lama
ke semua jalan, yang banyak patung kenangan

ketika langit benar-benar melengkung di bibirmu,
atau mungkin bola mataku yang terkungkung bingung
pelepasan, kukira adalah perpisahan terteduh
sebelum akhirnya menikmati hembusan angin yang pelan-pelan membawa
sisa air matamu, dari pipiku

kekasih, rimbun rindu menancap di ulu hatiku
akarnya seperti bakau, mencengkram dan tak mudah ditebang
perjalanan yang singkat telah menjadi apa saja
ke manakah muara yang kita tuju?

kau cuma datang sebentar,
dan membawa pulang hati ratusan orang

Medan, 2014


Dua Puluh Enam

seharian tadi sepi mengurung diri dalam larik-larik puisi, catatan mimpi dan ciumbelueit yang pasi, sejak matahari datang dari tubuhmu, mendenyar kenangan dan rindu yang sungkan. kita belajar mengenali perjumpaan, belajar menempuh ingatan dan mencoba menembus kemungkinan.

2013


Jalan Taman Sari

kulalui lagi jalanan ini, setelah petang membawamu pulang ke pangkal jalan bersama tumpukan kenangan dan barangkali rindu
yang sampai saat ini belum bisa tenang

langit terasa begitu berat
angin berjungkalan
jalanan ini sunyi sekali
untuk perempuan yang datang dan pulang
meninggalkan rahasia pertemuan

maka aku memilih diam
menjinjing satu per satu kedalaman pertanyaan
sampai besok atau lusa
kita mungkin mengulang-ulang ingatan

2013



Di Braga

akhirnya kita titipkan perpisahan pada alun-alun kota,
dan braga yang tak punya pilihan selain menghitung hujan

aku percaya, jutaan kenyataan sudah dititipkan tuhan di dadamu
mata air yang segar atau padang tandus yang terjal
segalanya datang dan akan berpulang pada kesunyian
kita berdiang di penantian

sudah cukup, hari ini.
ratusan malam telah menyublim di kedua lensa dan bibirku,
rindu melumuri seluruhnya, sampai aku tak bisa berbuat apa-apa
mungkin lantaran sudah terlampau dalam,
mungkin lantaran kesenduan
mungkin lantaran keresahan
mungkin lantaran kau
yang diam-diam mengoyak keningku
mencari letak kerinduan

2013



Aubade

di antara dua hulu sungai, aku menghabiskan sisa remaja dengan mengenangmu.
perkenalan di kota kembang dan  romantisme perpisahan di braga festival.
sampai detik ini, aku masih betah menjadi penunggu kemungkinan
gelisah, rindu dan ketakutan bersemedi di jantungku, membangun dermaga-dermaga
sunyi, laut bagi doa dan harapan yang panjang. setidaknya tak ada yang diam-diam
meninggalkan, dan kembali lalu pergi lagi,
menanam dendam

Medan, 2013



Di Pinggir Pantai

seperti laut, aku ingin menggarami kesunyianmu dengan jutaan puisi yang tumbuh di punggung-punggung karang. gelombang dan angin malam menyusun jutaan biduk, untuk dikayuh para penyair yang kehilangan kata-kata. bumi ini dingin dan sunyi. seperti larik prosamu. karenanya, aku kerap kehilangan telunjuk dan bulu kuduk. cuma gigil dan elegi yang mengiringiku berjalan di tengah gerbong-gerbong tua, plaza, jalan raya dan koran-koran lokal yang dipadati gambar wali kota.

Medan, 2013


------------
Sartika Sari, 1 Juni 1992. Mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia Universitas Negeri Medan. Sejumlah karyanya dimuat di berbagai media.


Lampung Post, Minggu, 29 Juni 2014

Sunday, June 22, 2014

Sajak-sajak Novy Noorhayati Syahfida

Menghitung Rindu, Membilang Namamu

rindu masih biru
menapaki dinding-dinding waktu
ada yang menyeru namamu
dalam gerimis yang paling syahdu

beri aku bunga yang paling mawar
pengganti rindu yang mendebar
sepi kini menjelma getar-getar
merasuki jiwa yang menggelepar
membaca cahaya, mengurai pendar

rindu masih biru
singgah mengetuk pintu
begitu restu…
begitulah selalu kusebut namamu

Kedoya, 16 Januari 2014


Di Makam

aku datang kembali, pa…
lepas rindu raga
membasuh tubuh rerumputan
mengurai manik kenangan
panjatkan al-fatihah, lafadzkan yasin
di makam inilah saat perjumpaan
ingatkan diri akan sebuah pertemuan

Bandung, 2 Februari 2014


Lelayang

jika rindu sudah enggan bertandang
ke mana cinta dibawa dendang
sedang luka telah meradang
tinggallah bimbang
bagai lelayang

mencoba pasrah
dalam ragu dan gelisah
satu asa yang tetap singgah
meski air mata tak sudah-sudah
doa adalah kesetiaan yang terindah

Tangerang, 16 Februari 2014



Nyanyian Hati

Aku ingin menetap di dadamu
yang kekar menasbihkan namaku
menggenapkan waktu menjadi beku
agar tak ada lagi ruang tunggu
yang mencatat semua manik ragu

Tubuhmu bagai lautan
tempat perahuku melabuhkan kerinduan
meski terombang-ambing riak kecemburuan
dihempas badai dan angin buritan

Duhai kekasih hati
layarkanlah mantra-mantra pecintaan ini
pada senja, dan pada ombak yang tak henti menanti

Aku ingin menetap di dadamu
yang penuh gelombang itu…

Sungguh!

Tangerang, 18 Februari 2014



Laut Mencatat Luka

laut mencatat luka-luka
menampung air mata
detik demi detik muara

ada yang diam-diam cemas
layu terhempas
ia yang melangkah, pergi dalam gegas

laut telah mencatat luka
pada satu paragraf cinta
pada ia yang ingin melupa

Kedoya, 26 Februari 2014


---------
Novy Noorhayati Syahfida, lahir di Jakarta pada 12 November. Buku puisinya: Atas Nama Cinta (2012) dan Kuukir Senja dari Balik Jendela (2013).


Lampung Post, Minggu, 22 Juni 2014

Sunday, June 15, 2014

Sajak-sajak F. Moses

Dari Teluk sampai Tanjung

di laut kita pernah memancing
tapi ikan telanjur mahir menyelinap
di antara terumbu karang
“di Teluk ini tanjung masih terlalu garang
bagi si gamang bersitegang tegap di tubuh karang,” bisikmu

kita pun bergegas menafsir waktu
meninggalkan Teluk ke Tanjungkarang
“terlalu ringkih bagi kaki malas beralas,” bisikmu lagi

kaki beralas selalu mampu di Tanjungkarang
kaki telanjang cukup sampai di Tanjung
“Tanjung apa?” katamu.
“Tanjunggarang,” kataku.

2013


Katedral Tanjungkarang II

selalu kurumuskan segala ingatan
atas namaMu
sekadar doa dari lenguh domba dasar jurang
di rumah putih Tanjungkarang

selalu saja kuingat dirimu
selalu saja kukenang sebuah kota
darimu
Tanjungkarang adalah iman bagi puitika

segesit gerak ikan di antara terumbu karang
selesat ingatan seluruh bagi Tanjungkarang
bagi puteraMu seorang
menguatkanku bak batu karang

hari ini masih kubilang
mengingat Tanjungkarang
;musnah segala pedih meski berlancip karang
                   
2013


Kunang-Kunang Kenangan Bakauheuni-Way Kanan

kunang-kunang kenangan melata
landai pandai meliuk di perbukitan tubuhmu   
menjawil sepanjang perjalanan
dari kata ke kata
dari kota ke kota
mengitari kenanganmu


kunang-kunang kenangan
jua menjelma seribu frasa
menziarahi lekuk teluk tubuhmu
untuk bersegera di sungai perbukitanmu

girang kutafsir kunang-kunang kenangan
dari lekuk perbukitanmu yang menganga
menampung segala resah
merampungkan segala desah
;dari kota ke kota       
   
di antara tiap lekuk perbukitanmu
adalah kunang-kunang kenangan
;bila malam tiba, kerlipmu menjelma
dari frasa ke frasa
kembali melahirkanmu sebagai kata-kata

2013



Lapangan di Kompleks Gubernuran Telukbetung

selalu kuingat janji kita di lapangan itu
seluas selapang perasaan yang tersusun rapi
kamu bilang begitu
aku bilang begini
;kita yang memang tak pernah sama. Kecuali dalam dusta.

dan kita pun kembali menyusun janji
untuk esok lebih baik
sekadar memberi kabar dan ciuman terakhir paling sempurna
lantas kita sempatkan makan bakso dan minum es teh manis
sebelum ucap mengubah segala pedas dan manis

kamu masih bilang begitu
aku masih bilang begini
kita masih saja tak sama.
Kecuali ingar nafsu

2013


----------
F. Moses, kelahiran Jakarta, 8 Februari 1979. Menulis puisi, cerpen, dan esai pada beberapa media. Tinggal dan bekerja di Jakarta.


Lampung Post, Minggu, 15 Juni 2014

Sunday, June 8, 2014

Sajak-sajak Oky Sanjaya

Mangga

Adam terus-terus saja
mengingatkan Hawa,
jangan memetik buah mangga itu.

Ini di surga.

Tetapi,
awalnya dipetik juga.
Kulit mangga muda itu,
dikupasnya.
Tampaklah utuh dagingnya.
Tercium semerbak getahnya.

Garam, cabai rawit
pada piring,
dicocolnya,
digigitnya,
ngilu pantatnya.

Kemudian,
Adam, suaminya itu, pulang dari tualang,
mendapati istrinya, menggigi karena asam.

“Siapa yang menggodamu?” Adam bertanya.
“Buah mangga itu sendiri,” jawab istrinya.

Adam pun diam.
Ia tatap mata istrinya, dan berkata
“Kau tentu tahu, di surga, tuhan tidak pernah menginginkan kelahiran.”



Air

Air berlari melewati pipa itu,
datang bertekanan rendah. Lalu wadah
berdiameter 50 cm, menampung
segala benturan. Air tidak tewas.
Mengisi kembali silsilah tumpah.

Dalam wadah, air digunakan.
Membasuh utuh tubuh gelas,
sendok, mangkok, piring, kemudian teplon.
Serta panci, serta kuali,
memantaskan kembali sabun
yang telah lebih dulu, melepas lemak–katamu,
lemak yang melekat.

Dalam wadah, air bergelombang. Seperti sekali lagi
menyatakan,
tidak bisa disamakan,
yang dibuat karam, yang dibuat tenggelam.

Dalam wadah, air membersihkan.


Hidangan

secentong nasi yang kau rebahkan di atas piring
membebaskan air
melangkah kembali
mendatangi daur
menasbihkan getir sayur

Sampai,
akhirnya,
perutku kembali mengendur.



Lanskap Perahu

dan laut, memisahkan kita cukup jauh. perahu tambah usang.
garis pantai, hanya pemikiran kita yang verbal. kemudian,
perlahan-lahan, kita mulai saling melupakan. perahu
menyisakan tulang. tandas, dibiarkan begitu saja
bersandar. ia tak lagi oleng. karena yang selalu menyentuhnya,
tak pernah lagi mampu membawa. namun meninggalkan,
basah yang cukup, dan memastikan, tidak ada lagi
yang turut terserak. di antara tumpukan buih dan pasir.



-----------
Oky Sanjaya, lahir di Sanggi, Kabupaten Tanggamus, Lampung, 13 Oktober 1988. Alumnus di Jurusan Pendidikan MIPA Fisika Universitas Lampung. Buku puisinya, Di Lawok Nyak Nelepon Pelabuhan (2009).


Lampung Post, Minggu, 8 Juni 2014

Sunday, June 1, 2014

Sajak-sajak Yuli Nugrahani

Lelaki di Batang Tapak Liman

Sedetik ketika tanah dekil menumbuhkan biji gulma
tapak liman menggeliat dari sela kerikil menjelma pagi.

Lelaki itu sudah menunggu sejak subuh belum bertabuh
mesra merayu di gerigi daunnya yang lancip berpeluh.

"Aku menumpang udara mengambil semesta yang kuperlu
juga kesempatan merapat di batangmu, Kekasih."

Lelaki itu mengikatkan diri pada tangkai tapak liman
ikut menjulur pada titik tumbuh merangkai ketinggian.

Tak ada yang bisa membatalkan hasratnya
terlebih ketika luka ikut menjadi balatentara.

"Aku akan tetap di sini menunggu ungu di pucukmu
sementara serupa kasim tersemat takdir, tak mengapa."

Lagak tapak liman tak terduga tak terkenali tabiatnya
pun lelaki itu bersabar terus menyapa Kekasih, Cahaya.

Pada batang tegak dan daun yang setia merapat tanah
dia percaya sedang menuju hakekat tantra sempurna.

Inilah saat dia mengemas seluruh masa sebagai penantian
hingga nanti suara lugas berucap di seluruh nada Amin.

(2013—2014)



Perempuan

Ini perempuan kelewat batu

Kurusetra bukan hanya tempat ksatriya
karena ke sanalah perempuan itu pergi
menangisi setiap huruf yang terhapus

"Kau sudah butakan inderawiku
lalu kau buka jendela. Jadi, di mana dunia,
Tuan, supaya kulanjutkan penciptaan?"

ini perempuan terlanjur gagu

kamus menjadi lembaran hancur
dibukanya halaman per halaman
andai satu saja masih tersisa

itulah kata yang akan diucapkannya.

(2014))



Liris

Para dakini mengiringku ke belukar walikukun
di tepi hutan jati pinggir sungai, menopangku
bersila memandang ke Timur, arah matahari
tengah menari dengan kaki telanjang, sembari
mengerling pada puluhan rusa-rusa jantan
yang menunggu musim bertemu pasangan.

Ada setetes embun (harusnya dua tetes,
setetes lagi dijumput cahaya yang tidak sabar
menantiku datang, dijadikan mata cincin
cemerlang di ujung paruh manyar) tersenyum,
aku juga tersenyum menggapainya, pelahan.

Tentu, tentu saja aku memiliki segala hujan
deras setiap detik bisa kureguk, melimpah.
Tapi embun, setetes embun di ujung jari,
meluapkan dunia kecilku jadi puisi dan tari.

Tapi embun, setetes embun di ujung jari,
membuatku bertangan bermata berhati utuh,
ditarik kutup-kutup simetris yang manis.

Jadi, jangan lagi
kau pertanyakan, dia

milikku.

(2014)


---------------
Yuli Nugrahani, lahir tahun 1974. Tinggal di Hajimena, Lampung. Aktivis bidang justice and peace, mulai memublikasikan puisi tahun 2013. Selain puisi, ia juga menulis prosa yang dimuat di berbagai media. Buku puisinya yang baru terbit, Pembatas Buku (2014).
   

Lampung Post, Minggu, 1 Juni 2014