Sunday, January 26, 2014

Sajak-Sajak Edi Purwanto

Sebelum Pagi Datang

sebelum pagi datang
rapikan dulu rambut dan gaunmu
yang masai
juga seprai dan bantal
tempat kita urai mimpi semalam
debu-debu di lantai dan jendela
pun butuh perhatian
biarkan udara suci bertandang
dalam rumah kita
setelah itu
kau boleh nuju dapur
sekadar menjerang air penghangat tubuh
lalu pergilah engkau ke surgamu

Lampung Barat, Desember 2013


Di Ham Tebiu

taman ini masih mencatat sejarah persuaan kita
ia serupa dermaga dan kita adalah dua kapal
yang bersandar padanya lantaran usai sudah
perjalanan keliling dunia
ditemani angin senja yang aduhai
juga kecipak ikan yang nakal
kita berbincang tentang masa depan
mewujud ikrar

“aku ingin seperti Pesagi yang berdiri tegar menjagamu.”

“dan aku ingin menjadi kaki bagimu agar selalu
dekat denganmu tak peduli waktu.”

Ham Tebiu serupa nirwana bagi kita:kala itu

Lampung Barat, Desember 2013


Tentang Akar

telah ia simpan segala rahasia:putih hitam
kehidupan pada kegelapan
udara dan cahaya tak lagi sebagai kekasih
setia yang selalu bersama
habiskan hari-hari hingga kalender
tak berakhir
lelah yang terbang terus dipatrikan
air dan hara ia kirim seadil-adilnya
kepada semua sahabat karibnya
agar mereka hidup bahagia
menjadi bagian semesta



Selat Sunda

mekarlah estetika di jiwa
pandangi tubuhmu dengan mesra
Swarnadwipa-Jawadwipa menjalin cinta
dalam naungan kasih dewata

dalam naungan kasih dewata
terlahir seorang putra
penerus silsilah gemunung ternama
kelak akan kau sambangi dia
pada bulan penuh bahagia

Liwa, Oktober 2013


Ada yang Menangis Diam-Diam

ada yang menangis diam-diam
yang mungkin tak terdengar
lewat telinga indahmu

ada yang menangis diam-diam
yang justru bisa kaudengar
lewat matamu
lalu kaukirim
nuju hatimu

sungguh
ini bukanlah sekadar sinestesia
yang sengaja mengubah makna
lewat tanggapan dua indera berbeda

ada yang menangis diam-diam
mereka:batang-batang damar
menanti sisa usia

Lampung Barat, Oktober 2013


Pada Matamu

matamu serupa danau
mengundang pukau
meski kadang lahirkan risau

matamu laksana rimbun hijau pepohonan
memberi kedamaian
walau tak jarang tuliskan keraguan

matamu ibarat langit
tempat asal hujan diturunkan
hingga sebabkan kusakit
tiada terperikan

Bandar Lampung, Desember 2013


Serabi


putih dirimu
dengan penampilan teramat lugu
tanpa hiasan di tubuhmu

meski begitu
sensasi perisa kau tawarkan
lewat aroma santan
dari dalam tubuh itu

Lampung Barat, November 2013


------------------
Edi Purwanto, lahir di Sindangsari, Natar, Lampung Selatan, pada 7 Juli 1971. Saat ini mengabdi di SMA Negeri 2 Negerikaton, Pesawaran.


Lampung Post, Minggu, 26 Januari 2014

Sunday, January 19, 2014

Sajak-Sajak Selendang Sulaiman

Kuasa Makna Pengembara
:Eman Hermawan

Sia-sia aku berjalan
Jikalau kaki-kaki melangkah
Jejaknya penuh kutukan
Lengking serapah melampaui kerasnya doa
Di mulut-mulut suci kaum rohaniawan

Sebab aku hanya memiliki puisi dan prosa
Kepada jiwa-jiwa di alam benda
Kucurahkan segenap cibiran orang-orang
Biar hidup yang hina-dina ini tetaplah papa
Menjadi santapan keangkara-murkaan

Setiap tidur dan terjaga aku berdamai
Dengan segala yang hadir dan pergi
Sering kali aku teriakkan derita pada puisi
Dan prosa yang kehilangan makna-makna dan arti
Bahkan hanya selesai dalam catatan harian sunyi

Sesekali kuhadapkan tubuh ringkih padamu
Kudekatkan pikir dan rasa di gema nalar kuasamu
Tanpa sekalimat bahasa kecuali kuatnya daya cipta
Aku pun takluk tertunduk pada tatapan mata dewa
Yang kau tusukkan tepat di kedua bola mataku

Batapa kerdil diri ini patuh di hadapmu
Sementara api nurani kian berkobar di tungku kemanusiaanku
Dan betapa kebodohan telah mengucilkanku dari kehidupan
Lalu mendorongku ke jurang curamnya tipu daya
Tetapi engkaulah saksi: jika aku akan melakukan sesuatu!

Kenang dan atau lupakan puisi dan prosa dalam riwatku
Lantaran engkau akan terus berlari, menyeret sepasukanmu
Engkau akan terus bernyanyi di altar-altar kekuasaan
Dan akan semakin bergoyang di atas semesta kemanusiaan
Sementara puisi-puisi dunia akan kau singgahi akhirnya.

Yogyakarta, 21 Oktober 2013


Menyulut Api Peperangan
:Kaisar Abu Hanifah

Lelaki semampai berjaket kulit bertanya dengan tatap tegas
Perihal tugas ksatria dan kewajiban para pendekar
Wajahnya coklat menerawang ke pusar cahaya
Senyum manis mencari kunci-kunci rahasia dalam kitab-kitab

Ratusan bab peperangan di lembar-lembar sejarah
Menabuh genderang dan terompet tertiup di telinganya
Dan kemabukan pada isyarat dan tanda-tanda kebijaksanaan
Melempar ruh jiwanya ke pusat kota penuh propaganda dunia

Keributan bertabrakan dengan beragam dendam berdarah
Gempanya meruntuhkan benteng jiwanya yang kekar pengetahuan
Kemudian ambisi membius dirinya sendiri dalam kealpaan

Kini, tegap tubuhnya berhadapan dengan bentang cakrawala
Menantang badai timah dari perut matahari yang membara
Saksikanlah, peperangan berapi terjadi di gerbang kekuasaan

Jakarta, 09 Oktober 2013


------------------
Selendang Sulaiman, lahir di Pajhagungan, Madura. Mahasiswa Sejarah dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.


Lampung Post, Minggu, 19 Januari 2014

Sunday, January 12, 2014

Sajak-Sajak Hendra Z.

Perempuan Bernoda
tuhan
luka sesal ini akan terus menyala
mengikuti langkah
menghias mata
meronce lidah atas dustanya ucap
dalam satu kesaksian
tuhan
luka sesal ini semakin besar menyala
waktu merambah kejadian
pengakuan memaksa bibir enggan bicara
tentang esok
tentang cinta
tentang resminya arti pernikahan
tentang kasihmu
tuhan
aku begitu hina
meniti ke rumah-Mu

September 2011



Harapan

mari kita beri umpan kail ini, diajeng
sebelum mengusik ketenangan air
yang menyimpan rahasia tonggak atau
batu-batu hitam berkilat
di mana ikan-ikan kecil bermain
mari kita angkat kail ini, diajeng
dari permukaan air yang bergerak
menjadikan tonggak
atau batu-batu hitam berkilat.
warna daun yang terlepas dari ranting
mari kita letakkan kail ini, diajeng
pada tempat di mana air tak mampu menjamah
dengan keangkuhan tonggak atau
batu-batu hitam berkilat
yang menjadikan daun bersanding
sampai di muara waktu
kesaksial esok.

September 2013


Di Atas Pusara

usai sudah kutabur bunga tujuh rupa ini
dan berbaris doa pengampunan
yang kau ajarkan dulu
dalam titah kasih
menjelang malam
usai sudah kutabur bunga tujuh rupa ini
dan berbaris doa pengampunan
sebelum aku pergi
meninggalkan tanah kelahiran ini
meniti hari esok
dengan harapmu
pertiwi
aku ronce segala duka
aku genggam tifa dunia
aku berbagi
aku kembali
di sini!
kutabur bunga tujuh rupa
kuucap doa pengampunan
sebagai pertanda
hidupku
satu
dalam langkah
yang tertunda

Januari 2013



Di Balik Kayuh Sampan yang Kedua

dukaku laut
merentang ombak ketika angin tak bersahabat
menyapa nelayan-nelayan di pesisir
merajut jaring dengan tangis lapar bocah
hari ke hari
doaku laut
membawa ombak ketika angin diam bersahabat
waktu nelayan-nelayan di pesisir
menebar jaring dengan harap kasih mata bocah
hari ke hari
aku melihat
aku merasa
aku doa
di balik kayuh sampan yang kedua

Desember 2012


-----------
Hendra Z., nama kedua dari Zulkifli, guru SMAN 3 Bandar Lampung. Buku puisinya: Pencarian (1987). Sajak-sajak lainnya dimuat dalam antologi bersama: Memetik Puisi dari Udara (1987), Parade Penyair Lampung (1986), Pendopo Sebuah Episode (1982), Cetik (1999), dan Leksikon Seniman Lampung (2004).  


Lampung Post, Minggu, 12 Januari 2014





Sunday, January 5, 2014

Sajak-sajak Asrina Novianti

Jalanan Batu

sepanjang hari
kita terlempar
ke jalanan batu
yang buat gemetar

segala telah habis
usia membeku
menimang langkah
di lelah waktu

terjebak di riuh
yang padat
lupa ingatan
menimang hari
yang lumpuh

orang-orang terkapar
melempar kabar
yang menggelepar

tapi selalu saja debar
suaramu berdengung
di relung telinga
sehingga aku liat
dan mengingat rumah
atau sekadar jalan pulang
bagi tubuhku
yang hampir rubuh

ingin berenang
di rengkuh
lenganmu

/poris plawad, 2013




Stasiun Kramat

rel kereta ini akan membawaku
kepadamu
lurus besi
sunyi yang terbungkus
di tubuh para penumpang
menyimpan ruang

tapi gerbong kereta akan sesak
menyimpan bercak sakit
dan harum pintu rumah

di sana, anak-anakku
akan berlarian
dalam ruang tunggu
dan bergantian
menyebut, "ibu!"

hanya ada dengung suara
jadwal kereta
yang singgah
dan jejak langkah
tergesa

/2013



Fatamorgana

mungkin engkau adalah lengking
harap yang jauh. seperti kusisakan
pelukan di tubuh dinginmu
kita mendekap hujan yang kalut itu

tapi kota ini begitu tergesa
selalu terlambat sekadar mengeja
tak ada pintu yang terbuka
seperti juga aku masuki
dirimu dari segala sisi

/2013



Labirin Perempuan

engkau adalah gaduh tubuh
yang menggeliat
dan terus kucecap dengan hangat
sampai di pangkal hatimu, lelaki

telah kukurung murung
dan menjelma perempuan dewasa
namun nyeri rahim masih terasa
setiap kali khianat lewat

namun akan kujerat engkau selalu
sampai engkau tandas
menjadi sum-sum bagiku
buat pertumbuhan anak-anak
di pangkal rahimku

/edelweis, 2013



Rumah Ibu

ibu selalu menunggu
di rumahnya dengan cat
yang mulai suram
di sana, acap kusimpan
ingatan kanakku yang tak pernah tamat

lantai keramik yang mulai pudar
dan kamar bagi rindang tubuhku
selalu disimpannya
air mata puluhan tahun

bahkan ketika aku menjelma jadi ibu
bagi anak-anakku

/2013



Di Kota yang Lain

di kota yang lain, engkau hanya membeku. aku sibuk mencecap sudut yang mengerut. warna gedung. tubuh yang murung. bukankah ini sebuah tamasya? sementara engkau sibuk mengemas warna luka, bagi perih yang tak bisa dinamai. keasingan itu seperti pangkal hujan di bulan desember. merengut waktu yang lampau.

di kota yang lain, engkau menghapal nama-nama jalan yang baru. kuliner dari kota dan hari yang mendadak jadi batu.

/2013


--------------
Asrina Novianti, lahir di Lahat, 11 November 1980.  Alumnus Jurusan Komunikasi FISIP Universitas Lampung (Unila). Pernah dipercaya sebagai Pemimpin Usaha di Surat Kabar Mahasiswa Teknokra Unila. Tulisannya tersebar di berbagai media.

    
Lampung Post, Minggu, 5 Januari 2013