Sunday, November 24, 2013

Sajak-sajak Adri Sandra

Gema

hanya suaramu dari jauh, jarak yang memisahkan
menggulung ketiadaan, di sini harapan tetap bertiup
meniti kabut di jurang-jurang lembahku, dalam dan redup

mungkin suatu kali; kutemukan juga tempat di mana engkau merakit waktu
membakar daun-daun kering yang menumpuk dalam diri
memamah abu menyuburkan darah dan lambung
"kau lihatkah? aku menandu kehidupan di depan cerminmu!"

hanya sekilas; lantun suaramu membentur dinding malam
gema yang kusadap di gelombang gelap
suatu saat, dua bayangan berbaris mengeja-eja kehidupan

kemarilah! jarak itu semakin dekat
dan daun-daun gugur dihela jari-jari suaramu
ke sebuah negeri yang mungkin tak kau kenal.

Ujung Tanjung, 2013



Jurang

mata burung yang mengapit gunung itu, berpijar di rongga hatiku
angin yang bising, ia serahkan daun-daun gugur ke bumi
"masih adakah tanah lembab di dirimu?" daun jendela musim
tertutup dalam rimba-rimba batu

di sebuah jurang, riwayat itupun mumbul bersama kabut
tentang Anggun Nan Tongga, Cindua Mato; aroma bunga-bunga
semakin jauh mengembara dari tanah negerimu

tapi kearifan, selalu mengurung tanda-tanda
nyala api, asap yang tak menjadi awan, abu yang ditaburkan
membeku di lidah-lidah akar
dan di kaki gunung itu, dibangun panorama, riwayat zaman
mekar tumbuh dalam racun cendawan

mata burung yang mengapit gunung itu, menyala di ruang mataku
di tanah dirimu yang kering, lengking perang, dada dan paha-paha wanita
menempeli setiap sudut hutan gunungmu
"inilah riwayat dan kisah-kisah baru," ujarmu

di sisi lembah, aku mengemas rangka-rangka cerita itu
bersama ribuan burung
dalam jubah waktu, detik-detik tak lagi kuhitung

"ah, aku bingung dengan zamanmu
yang membangun berjuta-juta jurang
dalam dan gersang!"

Ujung Tanjung, 2013



Jalan


seperti ada yang tertinggal, mungkin kau juga merasakan
peristiwa, tanda-tanda dan kearifan berlayar dalam angin
lalu kita menanam peradaban pada sebuah ruang yang terlupakan
dan pohon-pohon itu mengering, tanah tak lagi menyuburkan

inilah negeri kita; segala yang bergerak ke setiap sisi
membangun rumah dalam batin sendiri
jarak terentang dilantun sipongang yang mati

"aku di sini!" ujarmu
"aku di sini!" ujarku

setiap waktu, langit menangisi bumi
saat angin melipat seluruh jalan
yang pernah kita lalui.

Ujung Tanjung, 2013

 
-------------
Adri Sandra, lahir di Padangjapang, Payakumbuh, 10 Juni 1964. Menulis sejak 1981, prosa dan puisi. Buku puisinya: Luka Pisau (2007) dan Cermin Cembung (2012). Karya-karyanya dimuat di beberapa media massa. Puisi-puisinya terangkum dalam 29 antologi puisi bersama. Pemecah tiga rekor Muri dalam sastra Indonesia.


Lampung Post, Minggu, 24 November 2013




Sunday, November 17, 2013

Sajak-sajak Heri Maja Kelana

Penambang Karst

baju yang ia pakai tak pernah
istimewa. begitu pula dengan
pekerjaan yang ia lakukan. tangannya
hangat, kaki dan batunya selalu semangat
menaiki tekstur gunung batu.

ada yang sebenarnya ia kehendaki, namun
sulit dilakukan. ia hanya ingin bahagia
tak pernah lebih dari itu

dilain waktu, ia memikul batu serta
membawanya ke rumah. “batu ini bagus
istriku” tersenyum ramah. waktu akan
menjadi batu. menjadi sesuatu
yang bisa saja berharga. bisa juga tidak

ia memahat batu itu sambil
berbicara pada istri dan anaknya
“untuk kuburanku nanti”



Tandur

(sebelum lupa karena terlalu
bahagia, sebaiknya tidur sejenak)

percayalah, akan ada indung padi
yang ranum meski tanpa sesaji. sebab
selalu ada yang dilupakan setiap kali
mencangkul. istrimu serta senyummu
yang menyusut

tuhan adalah tanah dan air ini,
menumbuhkan helai demi helai
daun padi, menumbuhkan anak-anak
padi

sebab padi adalah waktu untuk setiap
waktu yang berhenti

sejenak


Kepada Perajin Tikar

terima kasih, aku ingat kembali
bagaimana cara merapikan
keindahan kenangan


Kepada Seorang Pengendali

belum pernah aku melihat seseorang
yang luar biasa peduli akan rakyatnya. sekali pun
dalam wayang. atau film atau drama atau

pada suatu kesempatan di desa terpencil
di ujung jawa barat. ada yang berbicara pelan
padaku, suaranya radio rusak. aku

bulan yang kehilangan malam. dua belas jam
berada di pasar. wajah-wajah berputar, memilin
cerita dari bau amis ikan, sayuran yang mulai
layu. laguku sandal jepit dan suara orang-orang
yang saling tawar menawar. semua

orang berbicara, tapi tak saling mengenal
apakah ini film atau cerita drama atau lakon wayang?

apabila kau tak pernah datang ke sini
ke pasar ini, ke ujung jawa barat
maka kusampaikan padamu salam
hangat dari sini. setelah itu

aku hanya ingin mencintaimu. ini puisiku
untukmu para pengendali


Morse

bila saja kedipan itu matamu
maka aku akan sangan paham dan
mengerti


The Road

sebenarnya aku tidak tahu jalan ini
maka selalu tersandung, selalu menginjak
apa saja yang tidak pernah aku tahu

jalan ini semakin menyempit, kakiku dan
kepalaku terasa semakin besar
tanganku menggapai apa saya yang terlihat
namun aku selalu tersandung
sebab aku tak tahu jalan ini

juga kenangan


-----------
Heri Maja Kelana, lahir 14 Januari 1986. Sekarang aktif di Institut Sastra Cikalong dan mengasuh di Rumah Baca Taman Sekar Bandung. Karya-karyanya dipublikasikan di berbagai media lokal dan nasional.
 

Lampung Post, Minggu, 17 November 2013

Sunday, November 10, 2013

Sajak-sajak Fatih Kudus Jaelani

Senandung Biji Kopi
                : Bunda

di setiap subuh yang basah
tanganmu tak akan pernah mengalah
memetik tubuhku, mencium daunku
sampai petang datang menyerang
membekukan akar-akar harapan
yang sabar menyimpan kenangan

dengan keranjang setinggi punggung
seperti harapan panjang dan agung
kau memilih warna paling merah
paling besar menyimpan gairah
sedangkan tubuhku yang lain
kau biarkan menunggu, mengamati
waktu belajar untuk kembali

bila aku telah memenuhi keranjangmu
pertanda pagi telah mencuri matahari
kau lihat ilalang menguning
maka hidupku akan dibakar dan digiling

telah kuikhlaskan segalanya untukmu
seharum aromaku saat dihidangkan
di atas meja panjang, di pinggir kolam
saat pagi mengundang dingin yang dalam

Lombok, 2013


Musim Layang-Layang

kami tandai angin di pohon kelapa
batang-batang tebu dan boneka padi
juga burung kecial kuning
yang bila mereka bernyanyi
musim kanak-kanak bakal dimulai

benang sepanjang kelok ke rinjani
kami gulung pada kaleng tak berisi
anak-anak bambu kami tebang
kami rajut dengan sabar jadi bagan
lalu kami kumpulkan anak  jeliwang
kami sambung jadi tubuh yang ringan

murahnya harga kesenangan kami
layang-layang masa kecil ini
kami kenang pada musim harga tinggi

Lombok, 2013


Musim Kelereng

kami hanya senang bila dapat menjengkal tangan
mendekati keberadaan lawan di pinggir lubang
meski terkadang saat berada di tempat sempit
kami terpaksa harus diam-diam melebarkan kaki
untuk mendapat letak pukul yang pasti.
betapa lebih senangnya lagi, bila hasil pukulan kami
membuat tanda serius di tubuh musuh

sampai musim permainan ini berakhir
sungguh kami tak pernah mengerti
ketika terjatuh ke lubang yang sama berkali-kali

Lombok, 2013


Gadis Meliwis

bulan terang bertandang ke pelabuhan
menerangi ingatan pada tubuhmu
seakan memandang sisa kesedihan
di tengah pelayaran panjang

cahaya itu bertebaran bersama harum malam
menyulap wajahmu menjadi tempat istirah
bagi lelah yang kehilangan angin dan arah

terkadang di bawah pohon ketapang
aku merasakan kecupan yang tak sengaja kau sisakan

bersama kepulangan para nelayan
ketika langit pagi menyimpan sisa bulan
kupandang laut ini sangat bersih untuk dikenang
bersama tubuhmu di malam yang tenang


Lombok, 2013



Takdir Kerikil

sungai yang sabar adalah ibu
mengandung batu sebelum dipalu
melihat masa depan yang kelak
menggelincir kecil di telapak kaki
oh, jangan lupakan tubuhku ini
yang tak dipandang bila sendiri

Lombok, 2013


-------
Fatih Kudus Jaelani, lahir di Pancor, Lombok Timur, 31 Agustus 1989. Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP Hamzanwadi Selong. Aktif mengelola Komunitas Rabu Langit, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Menulis puisi dan telah disiarkan di sejumlah media cetak dan beberapa antologi bersama.


Lampung Post, Minggu, 10 November 2013



Sunday, November 3, 2013

Sajak-sajak Alex R. Nainggolan

Tiba-tiba

tiba-tiba, engkau datang
membawa pagi yang lama hilang
dari tubuhku
memelukku dengan birahi yang masih sesegar embun
dan aku lupa tentang usia
yang lama berkerumun

tiba-tiba, engkau menghilang
meninggalkan malam yang cemas
dan aku terlepas dari kenangan
lalu aku merasa begitu tua
sepuh tumbuh di dalam tubuh

Edelweis, 2013



Hujan Pagi

hujan pagi menembus bening kaca
terasa juga sampai di badan
di dalam kamar
aku mengisap tubuhmu lagi
usia menggelepar
aku yang terkapar
kenangan terus berlayar
tanpa kabar

hujan pagi merawat kenangan
aku merayapi tubuhmu
menyisir cemas yang bergemuruh
melepas jarum-jarum akupunktur
yang bertahun menyekapku
dalam sunyi

hujan pagi memberat di kepalaku
hamparan berita menusuk bagai duri
dan aku tak pernah bisa membacanya
sebagai tawa

2013



Ke Pantai

ke pantai
jejakmu landai
menghitung lipatan sunyi
yang berkawah di matamu

ke pantai
tubuh yang lepai
keriap angin
ombak yang subur
asin laut
yang sungut
larut di tepi lidah

percakapan kita tak pernah sampai
bukankah acap kukoyakkan ingatan padamu
setiap kali biru laut
berkelir
di matamu
yang jauh
kalut berebut
ombak terus bergerak

ke pantai
kerumun orang
asing yang terbelah
dan cintamu begitu kekal
tak bisa kupenggal

2013


Malam Memberat

malam memberat
belum pukul 24
lambaian waktu
seperti angin pantai
hanya ada selat
bayangan laut berkarat
juga telapak kakimu
yang maki legam
lau malam hari

tak ada pelampung
bagi pikiran yang ling-lung
hanya mata kita bertemu
jauh di pangkal pantai

2013



Sepanjang Anyer

sepanjang anyer, sepanjang pasir
langit yang memanjang
jarak yang meradang
aku menyeret langkah
menjauhi gelisah
tapi hanya ada serak suara, denyar muik
atau sisa gelas kosong di kepala

sepanjang anyer, jalanan pasir
ingatanku berdesir
namum ombak terus mengalir
menyicipi malam
dan memagut laut yang buncah
mengingat daendels sang gubernur jenderal
berapa banyak yang pernah terkapar di sini?
hanya ada sebuah hotel
temaram village
atau kapal kayu mengapung
tak bisa kutempuh kelabu
yang menelusup di kepalamu

2013



Di Carita

di carita, mungkin masih ada kata
yang bertahun lalu kauapungkan
ke kirab laut
aku memungutnya
merenangi pulau-pulau kenangan
dan berselancar lalu terapung
di banana boat

di carita, ada cerita
juga luka kata
yang melulu biru
di kejauhan laut
namun tahun kita acap berlumut
kalut dan disekap kabut

suatu ketika,
engkau pernah berucap
sebelum angin laut
merebut
lesap di genangan pengap

dan kau menjelma pelampung
merampas murung

di carita, hanya ada debur ombak dan angin
bekas pasir di remah baji
dan sejumlah kenangan sungsang
yang hampir tenggelam

2013


--------
Alex R. Nainggolan, lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Menyelesaikan studi di Jurusan Manajemen FE Unila. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku terpublikasi di berbagai media dan antologi bersama. Bukunya: Rumah Malam di Mata Ibu (kumpulan cerpen, 2012), Sajak yang Tak Selesai (kumpulan puisi, 2012), dan Kitab Kemungkinan (kumpulan cerpen, 2012).

Lampung Post, Minggu, 3 November 2013