Sunday, May 26, 2013

Sajak-sajak Oky Sanjaya

Cermin Cembung

Di hadapan cermin cembung itu, kata-kata kembali bertukar sisi. Menyulitkanku membaca kembali apa yang kau maknai sebagai peringatan. Sedangkan hari, memang tampak terburu-buru. Hujan menjadi deras seketika. Aku dan kau, yang tak memilih berteduh, seperti bertarung menghadapi air. Kita kalah. Sekujur badan basah. Telapak tangan mengkerut.
– kalau jadinya begitu,” katamu kecut, “kapan air akan surut?”.
Aku berhenti di rumahmu. Menatapmu mendatangi pintu gerbang, mengusir sampah dari rumahmu. Kau membungkusnya rapat-rapat, dan memastikan, tetangga tak melihat.


A’dam

“aku ingin berumah
di Tanjung Karang,” kata
lelaki itu, yang baru saja
meninggalkan kamar kos nomer 15. Dilihatnya,
wajah tuhan
runtuh, dan berkata, “
Ia yang lebih tahu setelahku,
ingin pergi karena kesepian.”

sebelum mengangkat tasnya,
tulang rusuk lelaki itu
dicabut pelan-pelan. Kemudian,
iklan tivi terdengar semakin
tegas.

“Demikian, kesepian,” katanya, “
semakin lenyap dengan kehilangan.”

kemudian ia bangun,
dengan punggung yang pegal.



Innocent

Di atas bantal yang tidak nyaman untuk ditiduri,
ia kembali membaca buku.

Di halaman ke tujuh,
ia temukan naratif.
Di halaman ke sembilan,
ia temukan motif.

Kemudian,

ia temukan dekonstruksi, serta kamar
yang telah banjir.

Ia tumbang di baris akhir.



Doa Sebelum Tidur

Ia yang tidak ingin tidur terlalu larut, mengangkat kedua tangannya. Di atas tempat tidur itu, ia kembali ucapkan kata ‘tuhan’. Ia menunduk khusuk, seperti membaca garis tangan nasib.

“Tuhan Yang Maha Asing,” ungkapnya, “aku serahkan sepenuhnya penyelesaian pertempuran besok seperti_apa yang pernah kau singkapkan – mengenai kebenaran dan kemenangan itu.”.

Ia kembali tidak menyapu mukanya, seperti tidak pernah menutup doanya.

Sebelum tidur.



Irama Lain Kesedihan

aku tetap memilih kesedihan, kelopak mawar pelan-pelan mengkisut, layu dalam kalbu. mengatakan, ya, untuk yang tak pernah mungkin.

kita jalani saja, dan tetap memilih kesedihan sebagai ujung tombak keberadaan. bertahan, berpaling dari mengemisi hari yang terus saja terik, serta mulai bersikap dingin terhadap kehidupan. "peradaban," katamu, "yang tetap menghindar."

kita kehilangan, suara-suara kian basi. lelaki datang untuk tak pernah kembali. dan perasaanku; toilet semakin miring ke kiri. kenyamanan lenyap dalam target. tekanan menyusut sampai ke ulu hati. seperti mawar; mekar, lalu abai pesona. indah; lalu abai menatap.

dan kita; yang kecil ini, diatur untuk bicara. diarahkan, mewacana kemana-mana. sebab yang hilang, katamu, yang berterus terang.

maka, kita sependapat, untuk memelihara kesedihan, menyiapkannya berkesudahan, dan bangkit. melangkah seperti biasa. bersikap, seperti tak pernah mengerti. diam, seperti bicara, yang tak memberikan apa-apa. kecuali hanya lubang, lubang baru, menutup perlahan karena hujan, dan berangsur-angsur dijaga untuk tak pernah diungkapkan. dijaga pulih oleh kesedihan.


Cinta

Cinta yang diturunkan,
dalam darah, dalam daging,

dalam daging, dalam darah
melebur tanpa kata-kata

Cinta yang dinaikkan,
baru saja berangkat,
mereda dalam doa,

menghitmat.



--------
Oky Sanjaya, lahir di Sanggi, Lampung, 13 Oktober 1988. Alumnus FKIP Unila, sekarang mengajar di SMA YP Unila. Buku puisinya, Di Lawok Nyak Nelepon Pelabuhan (2009).


Lampung Post, Minggu, 26 Mei 2013

Sunday, May 19, 2013

Sajak-sajak Mashdar Zainal

Sarangan, Sarang Kenangan

pagi ini…
kau jangan terlambat
kalau bisa datanglah lebih cepat
aku sudah menunggumu di sini
di tepian telaga pasir yang selalu berdesir
kita akan bertemu (lagi)
di sini
di tanganku ada setangkai kecubung yang tak pernah layu
ia kupetik dari jurang masa lalu
yang tumbuh di tepian telaga mata
kau ingat?
kita masih mempelai musim
musim yang tak pernah berganti
seperti di sini…
udara pun masih sama, dingin sekali
kabut-kabut menggeliat di waktu pagi
mawar dan dahlia kuyup seperti habis mandi
di tepi telaga, bangau-bangau jangkung sudah berdiri satu kaki
mengintai ikan-ikan kecil yang mengucup muka-muka air
di sini…
penjual kacang pun masih sama, juga menjual puisi
hanya saja, puisi mereka tampak lebih renta
telepak sepatu kuda pun masih sama, melagu cinta
seperti tepukan rebana di pesta kita
tiba waktunya...
lekaslah datang, sebelum semua jadi kenangan
karena memang di sinilah kenangan kita bersarang
Sarangan, sarang kenangan
kini, aku masih menunggumu…
hingga kau datang hanya bersama bayang-bayang
melayang hilang mengantar kenangan

Telaga Sarangan, Magetan, 2010



Reka Romansa


i//
jika aku bisa mengarang sebuah cerita
kepadamu akan kubenamkan sekilmah romansa
akan kupersilahkan kau duduk di sudut beranda
dan biarkan saja dua kursi menganga
karena…
jasad kita hanya bayang-bayang
dua semu yang saling berpantun rindu
sampai tak terasa
sesilang peluk menua di pundak kita yang jenaka

ii//
musim debu membawa puisi derai cemara
ke ranjang kita
yang berkabut
aku ingin berselingkuh dengan kesetiaan
aku tak ingin terbunuh dalam waham
prasangka demi prasangka berkawin dalam rusuk rangka
berbiak pinak
berbusa reka

iii//
kini
bukan jika
kini
aku telah pandai bercerita
dan untukmu sekilmah romansa
ini memang tak sebunga jejak Laila yang diendus Majnun
tak ini pula sebuah jeda
dimana Romeo suka membunuh dirinya
lalu menjelmakan diri menjadi secarik puisi yang dibawa angin ke tralis jendela
ini benar-benar romansa
romansa yang kukutip dari bibirku
yang mengelupas
karena tuakmu

iv//
tak apa
sungguh tak apa
maaf selalu lebih mudah dari sebatu nyawa
kini simak !
oh dengar!
dari mana saja
jika sebilah malam mencungkil pori-parumu
dan meniupkan atis ke daki kudukmu
maka itu kabar dari tanah basah yang aku selingkuhi
setelah romansa ini kau boleh menangis
tapi tunggulah sampai hujan berhenti
sampai romansa baru menulismu-ku dalam kisahnya

Malang, 2010


-----------
Mashdar Zainal, lahir di Madiun 5 Juni 1984. Novel pertamanya Zalzalah (2009). Beberapa tulisannya juga tergabung dalam antologi bersama.


Lampung Post, Minggu, 19 Mei 2013

Sunday, May 12, 2013

Sajak-sajak Benny Arnas

Mengkhawatirkan Anak-anak

Presiden, Pohon, Ibu

Lelaki itu muncul lagi di layar terlevisi. Entah, ini kali ke berapa aku melihatnya. Ia selalu tampak gagah dan berwibawa. Ia pandai sekali berpidato. Ya, aku sangat ingin seperti itu. Seringkali, sepulang dari sekolah aku mempratikkan caranya berpidato. Aku sering melakukannya di atas salah satu dahan pohon jambu di sebelah kanan rumah. Mungkin kalian heran mengapa aku sangat suka berada di atas pohon

Begini; aku sangat menyayangi ibu. Ibu sangat menyayangi pohon-pohon yang ditanamnya. Dan, karena pohon jambu itu adalah pohon yang paling besar—yang paling tinggi—di antara tanaman-tanaman yang lain ... kupikir pasti waktu yang ibu habiskan untuk merawatnya lebih lama dibandingkan tanaman-tanamannya yang lain, di antara pohon-pohon yang lain

Ketika aku berada di atas pohon itu, aku seolah tengah berada di dalam rumah yang dibangun ibu. Hmm, ibu pasti senang kalau sekarang ia masih hidup. Untung aku tak bercita-cita menjadi presiden hingga ibu dapat menyayangiku
seperti ini


Wasiat yang Agung

Batu permata yang tidur. Segenap marah yang subur. Mengurai dua demi dua batubata yang rekah dari rumah baru. Ke mana nian akan kita buang ruang-ruang yang menyelubung di antara jemari anak-anak yang lupa membaca kitab. Memang, semua pertanyaan—termasuk yang baru saja dibunyikan—tak ditanyakan karena tandatanya lupa diselipkan di ujung; lalu apa arti perpisahan bila batu permata itu tidak lagi menumbuhkan bungaraya-bungaraya beraroma hujan di gigir buku (bukuku atau juga  bukumu). Memang senantiasa ada perumpamaan yang cerlang untuk sebuah perjumpaan yang melupakan pulang sebagai bagian dari perjalanan. Tak ada pengecualian, rupanya. Termasuk bagi prahara yang mungkin nanti akan membuat Tuhan mempersilakan kau dan aku membuang batu permata itu. Ia terlalu berkilau, katamu. Ia menyerupai cermin, balasku tak mau kalah.

Jangan, jangan biarkan ia memantulkan dosa-dosa kita dengan begitu terang kepada anak-anak yang sekarang sedang meriap di rumah baru mereka, masing-masing.


Nasihat

Nasihat itu sudah singup hingga tidak lagi membekas pada jarak yang diciptakan oleh kepak-kepak burung kuaw yang selalu datang berombongan dari pintu rumah baru anak-anak. Sekarang mereka sudah besar-besar, kasar-kasar, dan pakar-pakar, hingga yang tampak di mata kita (ya, kita; bukan hanya aku): Sebatang pohon beringin yang rindang, seram, dan penuh dengan kegeraman. Mereka bukan pohonnya. Mereka bukan daunnya. Mereka adalah akar-akarnya yang menolak tumbuh dari tanah. Akar-akar itu tempat kita bergantung sekaligus bergelantung sekaligus luntang-lantung sekaligus terkatung-katung. Kau jatuh, mereka geming. Aku bangun, mereka pening. Kita berjalan, mereka membuka kantung-kantung. Kantung-kantung yang dibuat dari daun-daun beringin yang dilekuk-kunci seolah dianyam dengan serta-merta dan begitu indah. Seperti sihir yang indah, memang. Seperti kepandaian yang tercurah. Dengan tiba-tiba sehingga; kau pun malu, aku pun gagu. Siapa yang digugu; aku-kau-atau-anak-anak. Kita telah lama lupa dan menghapus nasihat dari daun-daun dan pohon-pohon. Tak terkecuali dari beringin, rupanya.


Sebenarnya Kami Tak Rela Bila Merahnya Buah Ceri Menjadi Sebegini

Anak kami yang kami sayangi hari ini akan mencari perigi-perigi di dekat sebatang ceri yang tumbuh di antara sulur-sulur perenggi. Mereka memang jarang mandi seakan-akan minum kopi dapat mengantar mereka ke surga yang dijanjikan Ilahi. Pagi-pagi mereka tak menegur kami lagi. Malam hari mereka masuk ke kamar yang dikunci. Seolah kami sudah pergi. Seakan mereka hidup sendiri. Doa-doa kami adalah nama anak kami yang kami sayangi hingga haram bagi benci untuk dibiarkan semi di jantung, hati, dan sela-sela gigi. Ke mana nak dicari kekasih yang selama ini dijampi-jampi dengan daun serimpi dan bunga matahari. Kami tak menangis lagi sebagaimana duri-duri yang belum tumbuh dari ketakutan yang kami tanam sendiri. Mempunyai bidadari tanpa sayap di bahu kanan dan kiri sudah takhenti aku mensyukuri, gumamku di telingamu yang merah buah ceri. Merah buah ceri? Aku hanya mencoba menghibur diri sendiri, wajahku merah buah ceri. Merah buah ceri? Wajahmu berseri, lalu binar mataku menari-menari. Alangkah gerimisnya hidup ini: Bahkan sebilah kalimat lebih mampu membuat kami hidup kembali daripada anak kami yang kami sayangi. Ya, kami hidup kembali, merasa hidup kembali. Paling tidak, tertawa sendiri seperti ini.


Hari Ini Adalah Mulut Mereka

Kami sudah menjadi semangka yang dipetik lalu dihangatkan di bawah mentari yang tiba-tiba turun lalu disimpan di dalam karung gandum yang kering. Biarkanlah anak-anak tidak lagi mengenal; di mana kedua mata yang kerap menangisinya, di mana tangan-tangan yang bersetia memangkunya, di mana mulut-mulut yang meninabobokkannya—ah, mereka sudah sangat benci bahkan muak dengan mulut-mulut kami. Mulut kami adalah lubuk neraka yang menyemburkan nasihat basi, peringatan yang memekakkan, dan dongeng-dongeng yang sarat kebohongan. Mulut mereka adalah kecipak ciuman, hujatan yang menyenangkan, caci-maki yang dibenarkan, dan madu-madu yang tiba-tiba dibagikan di hari yang penting dan mendebarkan; pidato politik, pemilihan kepala daerah, lobi proyek, dan kasih-yang-melayang kepada anak yatim.  

-----------
Benny Arnas, lahir dan tinggal di Lubuklinggau, Sumatera Selatan. Puisi-puisinya tersebar di Lampung Post, Riau Pos, Koran Tempo, dan sejumlah antologi bersama. Puisinya Perempuan yang Dihamili oleh Angin meraih Juara III Krakatau Award 2009.


Lampung Post, Minggu, 12 Mei 2013

Sunday, May 5, 2013

Sajak-sajak Muhammad Harya Ramdhoni

Kapal Terakhir


kautahu,
di setiap pantai selalu ada kapal
yang datang dan pergi.
ia punguti apa saja untuk
dihantar ke seberang samudera.
ikan, udang, sotong, bebuahan
hingga perkakas dapur dan rumah.
juga ia unggah setiap kesempatan
yang singgah bersama citacita.
berbaur bersama gemuruh air laut
di selasela batu karang.
rasa asin bangkitkan ingatan pada derita.
gemuruh air laut bangkitkan ingatan pada
impian yang setia dicabar.
“kita adalah petualang”, katamu di saat
mendung hitam hampiri langit
bangi di sempadan kajang.
saat itu kaupinta dua cawan
kopi berkepul.
secawan untukmu.
secawan untuk diriku.
“aku terbiasa nyeruput kopi
bila hujan tibatiba tandang
sebagai pemancing ilham
yang berkesiut secepat puyuh.”
dan hujan pun betulbetul
gugur dari langit.
seolah ucapmu adalah
sabda seorang rani.
pertamakali mengenalmu kufikir
engkau maharani itu sendiri.
seperti tribuana tunggadewi,
sang pemangku wilwatikta,
kaubicara dalam ayatayat berwarna.
seperti sekeghumong, pemanggul
kedaulatan negeri sekala,
kaubicara tentang maruah
perempuan di dunia merdeka.
siapakah engkau sebenarnya?
dirimukah bidadari tersasar
di atas dunia?
sayangnya, diriku tak berminat
mencuri selendangmu.
seperti jaka tarub dalam
legenda lama bangsa jawa.
kuhanya ingin sandera hatimu.
hingga kau kekal sebagai
kapal terakhir di dermaga cintaku.
di sana, kita unggah setiap
cita dan harap sambil
sesekali memandang luas samudera.
ikhtiar menghisap sebanyakbanyak
ilham dari setiap sisi dunia beradab.

UKM Bangi, 7 April 2013



Perempuan Utama
telah berulangkali kukatakan padamu.
jangan kau coba lari dariku.
sebab kutahu tubuh dan
jiwamu masih setengah matang
.

#1
menarilah, perempuan utama.
menarilah.
jingkatkan kaki indahmu
pada setiap depa tanah
kering di bumi melayu.
gemulai sepasang tangan
bagai silat terindah
para punggawa
istana malaka.
begitu memukau. begitu mematikan.
bagai racun berbisa,
tersembunyi di dalam setiap
lekuk keris pusaka taming sari.

#2
melompatlah lebih tinggi,
perempuan utama.
melompatlah.
ada cita yang mesti kaugapai
dengan melompat.
bukan dengan merendah
atau menghiba.
sebab jiwamu terlalu
teguh tuk sekedar
berkata kalah.

#3
bernyanyilah, perempuan utama.
bernyanyilah.
senandungmu ialah seumpama
syair bagi mereka yang
menolak ingkar
pada setiap janji
yang telah terucap.
bernyanyilah, perempuan utama.
bernyanyilah.
senandungmu kabarkan seteru
kebaikan dan kejahatan.
satu riwayat yang sadarkan
engkau dan aku bahwa kita
masih hidup di dunia.

#4
bersyairlah engkau, perempuan utama.
bersyairlah. 
gubahlah sebuah rima menjadi narasi.
sebagai wujud syukur pada nikmat
tuhan yang terberi.
bersyairlah engkau, perempuan utama.
bersyairlah. 
kabarkan setiap kitab yang
kau baca ke seluruh penjuru bumi.
satu jalan yang mesti kautempuh
agar namamu tetap abadi.

#5
menarilah bersamaku, perempuan utama.
menarilah.
biarkan dayangdayang sirami kita
dengan hujan kelopak melur.
dan seribu malaikat amienkan
harap yang tersembunyi
di relung jiwa.
menarilah bersamaku, perempuan utama.
menarilah.
biarkan tarian ini membuat dirimu dan
diriku matang lagi sempurna.
biarkan dirimu mewujud
bidadari bermata jingga.
dan kaudapati diriku kekal
dalam setia yang sama.
menarilah bersamaku, perempuan utama.
menarilah.
kini diriku sungguh tak
sanggup lari dari pikatmu…

Sungai Tangkas, 6 April 2013


-----------
Muhammad Harya Ramdhoni, menulis novel sejarah Perempuan Penunggang Harimau (2011) dan kumpulan cerpen Kitab Hikayat Orang-orang yang Berjalan di Atas Air (2012). Ia kini tinggal di Bangi, Malaysia sambil ujian disertasi PhD Ilmu Politik di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM).



Lampung Post, Minggu, 5 Mei 2013