Sunday, March 31, 2013

Sajak-sajak Robie Akbar

Membangun Rencana

Malam telah menjulurkan lidahnya yang hitam
Bulan bersinar memang
Dan cahaya lampu  lampu temaram
Menyamarkan bayang bayang pepohonan
Ditepi jalan
Tangan tangan kecemasan
Menggali lubang lubang bagi kekosongan
Menyusun impian anak anak yang terlelap
Agar hidup tak lagi kalap

Kau dan aku dan waktu
Yang kita lewati dalam percakapan percakapan
Panjang tentang masa depan
Mungkin tak akan merubah apa apa
Bangkai bangkai masa lalu
Yang kita kuburkan kemarin
Bangkit lagi hari ini
Mengais ngais nasib kita
Dijalan yang sama

“aku tak ingin jadi sisiphus
Yang diperbudak zaman
Atau promotheus
Yang diberangus peradaban”
Katamu

Sekali lagi kita lewati waktu
Dalam percakapan percakapan yang panjang
Menyusun impian
Menata harapan
Membangun rencana
Bagi esok yang samar
Atau lusa yang gemetar

Bie 2013


Anakku Bertanya

Anakku bertanya pada burung dalam sangkar
Tentang arti kemerdekaan pada suatu pagi yang samar
Ketika rumput rumput masih berselimut kabut
Dan embun belum bergelayutan di halaman
Lalu burung itu terbang kesana kemari
membentur suram dinding sangkar berkali kali
Menjerit jerit dalam kicauannya

“mengapa aku dikurung di tempat ini?”

Anakku diam
Burung itu juga diam
Kuhirup udara pagi dingin dan sunyi

Bie 2010-2013


Terjebak

Bagaimana mungkin bisa kulupa
Tangantangan dengan jemari dan kuku kuku runcing
Yang menggali jurang dan palung palung kehampaan
Telah kuikhlaskan warna warni kecemasan
Pada ketiadaanmu
Dada yang membusuk
Dan kota yang hiruk pikuk
Kuserahkan berabad abad musim
Pada bulan dan matahari
Hingga waktu
Hanya menghitung helai demi helai rambut
Yang memutih di kepalanya sendiri

Bagaimana mungkin bisa kulupa
Bayangbayang masalalu
Meski hujan lelah berjatuhan
Dan badai lupa arah menuju lautan
Ternyata
Cuaca tak bisa meramalkan masadepan
Dadaku telah membusuk
Tak lagi dapat menampung keluh
Dan menahan tangis
Pada ketiadaanmu
Aku terjebak
Dalam jurang dan palungpalung kehampaan
Yang kugali sendiri

Bie 2013


Kutunggu

Selalu kutunggu langkah angin menyapu daun kering
Di halaman
Dan kepak sayap kupu kupu yang gelisah
Ketika senja yang mulai menguning’
Hinggap ditangkai tangkai kehampaan
Waktu memancarkan bayang bayang
Dari bola bola lampu
Yang selalu menunggu untuk dinyalakan
Seperti juga aku
 menunggu kedatanganmu

kudengar ringkik jangkrik disela sela batu
dan cicak cicak yang bermain disuram dinding
berharap malam menepati janji
menjatuhkan saat bagimu untuk pulang
seperti laut yang selalu membawa ombak ketepi

kutunggu kedatanganmu
sampai kabut kabut merumput
dan angin menyapu kembali dedaun kering
dihalaman
sampai tetes embun
dan kicau burung burung
menyanyikan pagi yang bening
di depan pintu

bie 2013


Angin Itu
Angin itu seperti mengisyaratkan sesuatu
Seperti ada yang disampaikan kepadamu
Mungkin hujan
Atau bulan yang pingsan
Sehabis mabuk dalam kabut
Merayakan maut
Disudut langit yang kalut

Angin itu
Mungkin luka yang tertinggal
Atau memang sengaja ditinggal
Sebagai bayang bayang
Untuk kau kenang

Bie 2013


----------
Robie Akbar
, lahir di Tanjungkarang, Bandar Lampung, 3 Oktober 1978. Pernah berproses di Teater Satu Lampung. Sekarang aktif dan mengabdikan diri untuk kegiatan sosial. Sajak-sajaknya dimuat di beberapa media dan antologi bersama.


Lampung Post, Minggu, 31 Maret 2013

Sunday, March 24, 2013

Sajak-sajak Ahmad Yulden Erwin

Perihal

Hal ini berjatuhan
Di kepala, merayap pelan
Di kaki semut-bulan
Tersuruk ke rumpun duri
Terpukau pelangi, berguling
Di perut cacing-matahari
Kemudian udang, tripang
Aglonema, dahlia, kaca diaduk
Ditumbuk sehalus-halusnya.

Hal ini berhamburan
Di hati, mengintip tumit penari
Di jalan berlumpur: tanah, tahi
Di bawah pohon api: sepasang kaki
— Bukan, ini bukan metafora —
Hanya mirip sesuatu yang ditempa
Dipotong, digerinda, dilempar
Ke muara, tenggelam, muncul lagi
Di danau kering, di tebing tulang
Diasah ke pejal urat, diseret masuk
Ke sumsum mabuk, disedot ke tengah
Sunyi, dilindas berkali, tumbuh lagi
Dibakar, menyembul tunas baru. Dicabut.

Jika kau setangguh itu, tuliskan puisimu.



Fraktal Matahari

Bagi Iswadi Pratama

1
Matahari dan sebelas penjaganya. Inskripsi
kekosongan. Segala kosong adalah cicak perak
dan ekor merahnya; sepasang gagak bersiul

di dahan cendana; lidah api bersurai serigala!
Waktu memeluk hutan dan tebing longsornya.
Waktu menyapa bulan dan kuning obornya.

Waktu adalah jejak kesunyian. Waktu adalah
pintu rumah siput dan maut keabu-abuan.
Maut adalah ibu yang terlelap di bawah hujan.

2
Maut adalah cahaya. Maut menyapa bekas 
luka di punggung kita. Maut adalah pena dan
puisi-puisi menanti pembaca. Maut adalah

jendela dan sepasang mata kumbangnya.
Maut adalah senyum kecil di kuil air mata.
Maut adalah muara dari segala peniadaan. 

Maut adalah kehidupan. Lampu padam.
Batu menyala, juga waktu, dan kesunyian
yang terbelah bagai sepasang payudara.

3
Hidup adalah cacing, juga seekor kucing
yang menembus dinding kata-kata. Hidup selalu
berhembus di luar definisi. Hidup menuai

setiap imaji. Hidup berdendang bersama spora,
ganggang, dan amuba; bersama selarik puisi
yang mengunyahnya. Hidup adalah kerinduan

yang memeluk jantung angin. Hidup adalah
kesunyian dan sedan ranjang tanpa pengantin.
Hidup adalah desah sungai di gerbang labirin.

4
Matahari dan sebelas penjaganya. Matahari
yang tak pernah sama. Matahari yang selalu
ramah pada debu atau cakrawala. Matahari

yang menari bersama hidup dan kematian.
Matahari kita, matahari yang lahir dari rahim
kepedihan. Kisahkanlah, kisahkan kembali

air mata kita, o, tuliskanlah dengan keriangan
rumput-rumput sabana, dengan keheningan
seorang tualang yang telah pulang ke rumahnya.
 


Halaman


Kini mulai kubaca lagi halaman rumahku:
Pagar batu, dua rumpun seruni, sepasang
kelinci, juga tiga baris haiku yang memeluk

ranting petai cina. Kau tidak bisa bertanya:
Apakah Tuan tengah bermimpi atau terjaga?
Tiada batas kecuali dalam pikiranmu semata.

Tanah basah, genangan air bekas hujan, kilat
tiba-tiba menyergap seperti sekuntum anyelir 
yang mekar di fajar mataku. Jika kau dapat

melihat dengan jernih, maka akan kaudengar
kicau sepasang kutilang di dahan mangga;
akan kaurasakan pula desir angin membelai

kuntum-kuntum widuri di halaman tetangga.
Pada saat itu, janganlah sungkan bertanya:
Apakah Tuan tengah bermimpi atau terjaga?



Tanka Magnolia

kita adalah percik
dari kesunyian

jejak kosong
di ladang bintang-bintang

lalu puisi dituliskan

— perlahan

satu dunia tercipta
tumbuh di putik magnolia

mekar dan gugur
lalu hancur

— tanpa kata

matahari kita
mekar di kuntum magnolia.



--------
Ahmad Yulden Erwin, lahir di Tanjungkarang, 15 Juli 1972. Ia aktif menulis puisi dan prosa sastra sejak tahun 1987. Tahun 1997, ia menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Ekonomi Universitas Lampung. Beberapa puisinya pernah diterbitkan di media massa lokal dan nasional, juga dalam beberapa antologi puisi bersama. Setelah tahun 1999 praktis ia berhenti mempublikasikan puisi-puisinya dan lebih banyak aktif di gerakan sosial antikorupsi.





Lampung Post, Minggu, 24Maret 2013





Sunday, March 17, 2013

Sajak-sajak Laela Awalia

Selepas Hujan
    : nirmala


Ada wangi tanah basah selepas hujan di beranda
sudah sepekan, tapi tak kunjung hilang
juga ada guguran daun yang belum sempat kau bersihkan
masih sama di bawah cemara
entah, tapi indraku memang menangkapnya demikian

lalu bias senyummu dalam bayangan rembulan ketika malam tiba
apakah kau patri aku dengan sudut matamu, nirmala?
hingga tak habis malam-malamku dengan lamunan akan pertemuan kita
sudah sepekan, dan masih ada dalam ingatan
***

hujan belum juga reda kala itu
ketika kita telah sampai menghitung rinai-rinai yang jatuh dari langit abu-abu
kau sempat bertanya,
    -apakah kau lelah menghitung hujan bersamaku, rama?-
dan aku terpaku
kehabisan kata untuk sekedar menjawab
    -tidak, nirmala-
sebab matamu telah membekukan duniaku

aku begitu canggung ketika kau biarkan waktu merayapi kita dalam kesenyapan yang tiba-tiba
serupa begitu asing pertemuan kita
seperti waktu yang tak kenal jeda
seperti pagi yang tak mampu berlari, lupa akan senja yang akan ada

hingga pada akhirnya aku mengerti
kita sedang mendengar hujan bernyanyi
dan melupakan sedih pedih
seperti juga matahari
menanti pagi untuk bisa terbit kembali
    -kalau begitu, rama, apakah hujan bisa memberi kita kekuatan hanya dengan mendengar mereka bernyanyi?-
dan aku masih tak juga menemukan kata untuk sekedar menjawab
    -mungkin, nirmala-
sebab ada yang tersisa dari perjalanan panjang kita selama ini
: cintamu
yang tak bisa kau sembunyikan di setiap perjumpaan
yang tak bisa aku hapuskan di setiap kediaman
yang tak bisa kita lukiskan lewat nyanyian
***

maka selepas hujan kali ini,
masih ada wangi tanah basah di beranda
juga ada guguran daun yang belum sempat kau bersihkan
sudah sepekan, tapi tetap tertinggal dalam ingatan

Natar, 7 Maret 2013


Pentasbihan Kerinduan
        : dinda


Kutemui setiap bintang di langit malam, dinda
bertanya apakah ada bias wajahmu disana
katanya,
temuilah pagi esok hari

lalu kutemui setiap embun yang menapaki pagi
lagi-lagi bertanya apakah ada senyummu yang terbingkai disana
katanya,
nanti kupoles dulu dengan kilauan sinar mentari

maka kutemui mentari yang merangkaki hari
tak bosan bertanya apakah ada potongan tawamu yang ia bawa
katanya,
masih kuhias dengan rona jingga milik senja

beruntung masih kutemui senja yang datang terlalu lama
tak habis bertanya apakah ada dirimu yang ia sembunyikan dariku
bukan jawaban yang aku terima seperti bintang, embun, atau mentari sebelumnya
katanya,
mengapa harus menunggunya di waktu gemintang mengerlip terang, atau embun mengilau silau, atau mentari menerik hari, atau jingga mewarnai senja?
bukankah ia turut dalam setiap untai doa yang kau kalungkan di tubuh malam, pagi, siang, dan senja?

duhai, dinda
tak usahlah lagi menjelma sebagai bayangan yang mengisi seluruh ruang tanpa pernah memberiku kesempatan untuk bertanya kapankah pertemuan itu nyata untuk kita
sebab seperti gelombang saja rasa yang ada
mencarimu, menantimu dalam tiap pentasbihan akan kerinduan
tak kah kau rasa?

Natar, 9 Maret 2013


---------------------
Laela Awalia, lahir di Natar, Lampung Selatan, 5 April 1986. Puisi dan cerpennya dimuat di beberapa media massa dan antologi bersama. Bukunya: Nyanyian Awan dan Hujan (kumpulan sajak bersama Angga Adhitya Prasojo, 2010). 




Lampung Post, Minggu, 17 Maret 2013

Sunday, March 10, 2013

Sajak-sajak Tita Tjindarbumi

Aroma Kematian

Ada semangkok sepi pengganti semangkok sop kepiting, selalu kau habiskan sampai sesap terakhir
Lalu setangkup rindu menjadi dingin, mengering digerus waktu, terpanggang mentari tiap hari
Namun mengapa sketsamu masih membingkai di samudra jiwa, seperti enggan pergi
Meski aku telah menganggapmu mati

Berhelai rambut diterbangkan angin, kesiur lekat di jenjang tak berbenang
Setiap irama angin, seriuh gesekan para daun yang bermimpi menaklukan gelap
Sedasyat tsunami yang menumbangkan kesenjangan, keterbatasan dan keterasingan
Adalah nyanyian angin yang berparodi dengan nyanyian kematian
Di batas sunyi, tepat disini

Sepucuk daun, sekuntum bunga dan sebilah belati
Lalu seperangkat alat mandi dan jubah-jubah
Tak pernah ada yang tahu untuk siapa
Kau atau aku..


Merah

Merahnya langit, menghitamnya mata menahan tumpahan air mata
Merah tak lagi serupa kesumat yang menghapus rambu jalan dan merobek peta kehidupan
Merah, adalah perjalan darah menuntaskan amarah
Di rimbunan sepi, anak panah terasah detik demi detik, menunggu
Kau atau aku, memerah


Saat

Kukenang  bukan saat kau menyetubui jiwaku lalu merampas semua pikiranku
Ingin kutikamkan belati di perbatasan jarak dan waktu yang terentang tak terjangkau
Seekor pungguk tak bolehkah bermimpi merengkuh rembulan
Seekor katak tak layakkah memetik teratai
Berjuta tanya menggantung di selubung awan hitam
Tak berjawab sampai saat itu tiba


Tak Ada

Tak ada yang bisa kita bilang tentang cinta, bagimu cinta adalah kacang yang kau buka kulitnya lalu kau kunyah dan jika pahit langsung kau lepeh
Tak kan ada yang bisa kita bilang tentang rindu, sebab bagimu rindu serupa berita televisi yang lebih banyak membuat kepala pusing dan rambut cepat beruban
Tak ka nada yang bisa kita bilang tentang rumah cinta, sebab bagimu rumah tak lebih baik dari penjara yang hanya akan mengangkangi kebebasan dan keliaranmu menjelajahi belantara yang lembab
Tak ada yang bisa kita bilang tentang mimpi, sebab mimpi kita berbeda cerita

---------
Tita Tjindarbumi, banyak menulis sajak dan cerpen di Anita Cemerlang, Gadis, Mitra, Tiara, Liberty, Kartini, Lampung Post, Story, Say, dll. Pernah menjadi jurnalis di majalah Editor, dll. Penulis asal Lampung ini kini bermukim di Surabaya.



Lampung Post, Minggu, 10 Maret 2013


Sunday, March 3, 2013

Sajak-sajak Tjahjono Widijanto

Mata Dadu

seperti senyum belati ia menatapmu
memindahkan warna merah api pada tapak tanganmu
siapa yang bisa tahan pada lambaiannya?

telah dipindahkan rasa lapar pada gairah merah  seorang  pelahap
yang terampil mengasah pisau dan menusukkan garpu
melahap tandas kerat-kerat daging dan gumpalan roti hingga remah terakhir
---Drupadi, tak ada kasta pada pesta perjamuan ini!
semua orang akan berebut menanggalkan jubah dan mantelnya di meja makan ini
bersama sejarah yang mengabur dan ingatan menjelma jejak sembab pantai amis yang kelabu
di jantungmu bayang-bayang akan meledak bersama taifun di dasar kebisuan

setelah pesta usai kau akan membangun monumen di matamu
bersama bunyi geluduk yang tak henti-henti mencacah musim
bukit-bukit akan hancur bergiliran dan dosa-dosa menjadi karam
bumi menggigil dalam ketelanjanganmu yang mengutuki sunyi
yang lebih sepi dari seribu kematian membusuk bersama salju
dan kembali sejarah menjadi kabur menunggu nyala api


Ngawi, 2012



Ulat dalam Apel

suatu saat kelak aku akan tumbuh menjadi naga menyediakan sebiji taring dan sekecup upas
tanda cinta sebagai ganti ucapan mesra seorang kekasih yang dibisikkan dari balik selimut dalam
geliat ranjang yang basah, membiusmu lelap tertidur dalam ranjang yang hangat oleh keringat.
dalam mimpimu kau akan bercerita  tentang cinta masa lalu, dua kerat rindu dan segelas
cocacola.dalam mimpimu itu pula aku menjelma angin yang tak berbekas di baris pasir-pasir
pantai, menghilang bersekutu dengan langit menjadi teka-teki di jagat ini.
jauh dan bisu.

suatu saat kelak aku akan tumbuh menjadi naga. di kutuk untuk selalu menggeliat di ranum
buah dalam genggaman jari-jarimu, atau menggelantung di ujung bibirmu menangkap deru
nafasmu lalu tergelincir ke dalam lorong tanpa cahaya menerobos labirin di dasar detak
jantungmu melahirkan erangan senyap yang panjang. berpinak dalam gelisah yang panas tak
pernah lunas terbalas sampai waktu menjebak kita pada teka-teki yang bergaung pada bukit-bukit
gurun dan tarian daun yang ranggas
    jauh dan bisu.


Ngawi, 2012



Lelaki yang Memotong Jari-jarinya

“Mana buktinya bahwa kau benar muridku dan aku benar gurumu, wahai sang jagoan?” demikian kabar berita yang dibawa sepotong senja ke kediamannya yang sepi di ceruk lembah senyap di tengah hutan yang coklat.
“Kuberikan potongan jari-jariku padamu sebagai baktiku padamu guru!”
 demikian kalimat terakhir yang ia ucapkan sambil menyorongkan potongan jari-jarinya ke muka gurunya.Lalu perlahan tubuhnya layu merangkul bumi di depan gurunya dan patung gurunya.
“Ekalaya, Mengapa kau begitu bodoh percaya hanya  pada sebongkah patung yang cuma serupa aku?” 
Tanya pak tua itu memunguti potongan-potongan jari yang berserakan di atas rumput yang masih basah oleh embun, oleh-oleh buat muridnya yang seorang lagi.

Tak ada yang menjawabnya kecuali hutan yang makin senyap dan makin coklat.


Lelaki Pengampak Kepala

“Ini kapak pembelah kayu untuk mengampak kepala Ibumu?” demikian kata bapak sembari mengobarkan api Syiwa di matanya. Dapat kau bayangkan betapa groginya aku di depan ibu. Lututku gemetar dan kuda-kudaku goyah di ujung lembing mata ibu yang sayu.
“Parasu mengapa kau ragu? Kalau kau benar-benar mencintai ibu, janganlah ragu segera kapak leherku!” kata perempuan itu lembut tersenyum sambil menyibakkan rambutnya yang hitam di kuduk leher yang jenjang.
    Tak ada lagi yang berkata-kata. Hanya warna merah melengkapi senja.

Ngawi, 2012


--------
Tjahjono Widijanto
, lahir di Ngawi, 18 April 1969. Menulis puisi, esai, dan sesekali cerpen di berbagai media nasional. Bukunya yang baru terbit: Dari Zaman Kapujanggan Hingga Kapitalisme: Segugusan Esai dan Telaah Sastra (Januari 2011) dan kumpulan sajak Janturan (Juni, 2011).



Lampung Post
, Minggu, 3 Maret 2013