Sunday, February 24, 2013

Sajak-sajak Pungkit Wijaya

Di Rumah Bersalin

Masuklah aku sebagai tamu
bergegas menyimpan tas.
Kursi-kursi putih, deretan tempat duduk
Seperti di punggung kuda besi; lusuh dan bau bacin
Antara kotoran, sampah dan sisa bilur ludah

di ruang ini, orang-orang resah, melupa arah
seperti kalimat-kalimat yang patah
ruang penuh kilat dan bayang-bayang kelebat

Aku bersidekap duduk di depan lukisan
yang tepat dibuat pada tahun 2004
bergambar sosok perempuan akan menjadi ibu

Silahkan keluar, dari ruangan sesak dan berjejal udara
kedatanganmu akan disambut suara adzan,
Aku bergumam, pada waktu di tik-tok jarum jam yang resah

Datanglah, bumi ini akan menyambutmu
Bergegaslah, putuskan urat-urat yang membelitmu

Selang detik, perempuan putih berkata
dari sudut kamar “ketuban pecah”
terdengar beriringan dengan langkah kaki
dan jarum jam

Di ruang bersalin, tamu itu terdengar mengerang
Ketika suara menjadi gema

Aku masih duduk sebagai tamu
di deretan kursi, antara lukisan, jam dinding dan luka
seperti memberi genap menangkap usia

tapi, di ruang itu aku lupa pada kotoran sampah
sisa bilur lidah dan orang-orang yang resah,

keluarlah aku sebagai tamu
bergegas membawa tas
dan mendorong kereta roda

2012



Perahu Langit 
Buat Tuan Tandi Skober

Di Cipadung, kita adalah iradat
saling mencecap bahasa.
kita tangkap angin dalam dingin

Seratus matahari menggeliat
Dari pundak bukit, hari masih pagi,
Mungkin mimpi telah menepi,

Di Cipadung, aku bersikap dengan cakap
Ketika langit merendah,

tiba-tiba kuingat kau berkata
“kelak, jantung kita akan berdetak di langit ketujuh
Ketika perahu yang melintas di sujud terakhir
Membuat segalanya menjadi putih
maka sisakan aku selarik puisi; layang kalimasada.” 

“Seperti ageman atau jimat
Aku adalah sisa amarah Bratayudha mematikan sedulur papat
kelima pancer. Aku ditemani seekor anjing—
Sabda Palon dan Nayagenggong— meninting ruh,
mendaki perbukitan di Gunung Tengger.
Gunung yang kerap ditabalkan tetenger, sebuah peradaban alih warna.
Entahlah aku selalu saja gagal
membaca kandungan puisi Layang Kalimasada itu.
Hingga ketika pelangi
melengkung jauh ke lipatan ombak laut pesisir utara Jawa, ada sosok
darwish berbaju gamis ajarkan makna yang terkandung dalam surah layang
kalimasada itu.”

Sebelum ruhku terhunus cahaya
Logatlah wafaq kalimasada itu
Kelak, aku tak pernah mengerti bahasa
untuk menerjemahkan dua kalimat sajak kesaksian

di Cipadung, kita akan kehilangan bahasa
padahal telah lama selembar kertas putih
akan menjadi perahu langit.

2012

--------
Pungkit Wijaya, lahir di Garut, Jawa Barat. 24 Mei 1988.  Alumnus Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Ia bergiat di Forum Alternatif Sastra (FAS) Bandung. Sejumlah puisinya telah dimuat di berbagai media dan antologi bersama.


Lampung Post, Minggu, 24 Februari 2013


Sunday, February 17, 2013

Sajak-sajak Asrina Novianti

Bulan Kesatu

semacam jarak
binar rumah
langkah hujan
yang tersasar
di jantung kota

tubuh lelah dalam basah
sesat yang terikat
setiap kali jalan tertumpuk

parade payung
terbuka murung
langit mendung
mencacah ganjil langkah

/jakarta 2013



Hening  Kafe

aku tertunduk
di bangku diam
sunyi yang lengang
dingin di bongkah mata

sayup lagu
tak mampu meregut
sunyi yang terpagut

getar lampu
seperti suara bayi
yang menangis
terkapar sendiri
bahkan saat lagu melingkar

redup tubuhmu
di kejauhan
menghampiri tubir malam

"ayo kita pulang,"
nampak lembut bibirmu
sungguh, aku rindu pada kecupanmu

/tangerang 2013



Sepasang Mata Ibu

sepasang mata ibu
menghampiri
setiap kulirik
cincin di jari

seperti ada yang terbuka
di lubuk
ingatan tentang remaja

mata itu,
berlompatan
semacam pengawas
di hari yang cemas

tak bisa kubangunkan lelakiku
juga anak-anak yang lelap
namun selalu ada sayup suara

"kau telah menjadi ibu,"
gaungnya merupa tenung

/tangerang 2013


Sajak
seperti ada yang sakit
di kepala
saat ia tak ada
meski kadang ia datang
seperti sebuah ilusi
dalam lamunan

semacam nyeri perempuan
saat datang bulan

/2013


--------------
Asrina Novianti, lahir di Lahat, 11 November 1980. Alumnus FISIP Universitas Lampung jurusan Komunikasi.Karya-karyanya dimuat di berbagai media dan beberapa  antologi bersama.


Lampung Post, Minggu, 17 Februari 2013








Sunday, February 3, 2013

Sajak-sajak Alya Salaisha-Sinta

Perempuan yang Menyimpan Api


perempuan yang diam-diam menyimpan api dari percikan hutan
di musim kering itu, kini semakin memendam ingatan masa silam

kalau kau kecewa jangan lemparkan batu ke perempuan itu: ia
hanyalah bayang dari langkah dan gerakmu. perempuan selalu
menunggu kenangan untuk lalu dilukiskan di langit. biarlah udara
yang menghapus. biarkan malam yang mengelamkan

jangan pernah ingat tentang kenangan ataupun silam; perempuan
telah mengabaikan setiap angka jam yang ingin mundur. "pandanglah
selalu di depanmu, sebab ke situ langkah diayunkan!"

maka usah ingat masa silam, kalau tak bisa merancang masa depan:
perempuan itu, yang diam-diam menyimpan api, akan membakar
waktumu...

13 Agustus 2012



Menyulam Airmata

selebihnya biar kunikmati
perahumu yang hampir karam
debur ombak kian nanar
desir pasir kian garam

kau menuliskan puisi terakhir
di lengan dayung

tidakkah kau tahu
aku bisa menyulam airmata jadi layar
menyusun keringat jadi perahu baru
bahkan rambutku bisa bernyanyi bersama angin

tapi aku diam
sebab kau diam
lalu tak lama: hilang

Cikarang 10 Mei 2012




Karena Aku Masih Menyimpan Namamu

(namamu masih mengakar karena itu kutunggu
jadi batang, tumbuh daun, dan berbuah)

biar pun malam berganti
dan hari meluncur jadi kalender
namamu tetap akan tertanam
sebagai pohon yang rindang

karena aku masih menyimpan namamu
taklah bisa kuhapus riwayat itu

betapa aku hapus kenangan
riwayat-riwayat akan menjadi

di kota lama beraroma kopi
jalan-jalan yang mendaki
mengikatkan riwayat
: sebagai ayat

aku akan baca kelak
bila tahun-tahun
ingin melupakan

bukan sebagai marcopollo
setelah menemukan negeri
lalu ditinggalkan
untuk kembali tualang

karena aku masih menyimpan namamu
riwayat-riwayat akan terus
membaca ingatan

dan kau,
segala halaman itu...

Mei 2012



Ihwal Benih Kini Jadi Pohon

            akan kutanam benih ini…

benih yang kautitip bersama hujan dan angin
di minggu siang, lihatlah menjadi pohon
                        di halaman belakang;
rindang daunnya, tegak batangnya
            kutancapkan masadepanku di akar-akar
agar nantinya melingkar bagai ular yang desisnya
sampai ke peraduanmu

                                    jangan catat hari minggu
berhujan itu, karena sudah mengekal dalam pohon
di halaman belakang. namun jangan ingat ihwal
benih yang dulu kautitip pada hujan dan angin

            ia sudah jadi hunian: bagiku berteduh
            dari bulan-bulan yang gerhana
            atau matahari yang abuk!

Cikarang 2011-Natar Lampung Selatan 2012




Celoteh Matahari Menjelang Pagi

Di pagi buta bulan Oktober
Matahari kecil itu
Berceloteh tentang embun
: mengecup ubun-ubun

Tahukah kau, matahari itu
Telah lama kugali bersama air mata
Hingga sungai-sungai hidup di pipiku
: aku merindukanmu

Maka tak bosan aku menimangmu
Dengan nyanyian paling merdu
Sampai habis segala syair
Segala yang liris
Dan jalan mengantarku pulang

2011


-------
Alya Salaisha-Sinta,
lahir di Jombang, Jawa Timur, 26 Maret 1986. Menulis puisi dan mengikuti lomba baca puisi sejak di bangku kuliah di Politeknik Unila (kini Politeknik Negeri Lampung—Polinela). Sejumlah sajaknya dimuat di berbaai media dan antologi bersama. Alya yang baru saja mendapat momongan ini, bolak-balik Lampung-Cikarang.


Lampung Post, Minggu, 10 Februari 2013